"Ayo masuk,"
Viny membukakan pintu rumahnya untuk Shani yang sedang memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali dia mengusap lembut tangannya yang tertutupi oleh jaket basah milik Viny.
Mendengar bell rumah yang berbunyi, membuat seseorang menuruni anak tangga. Mereka sama-sama terdiam ketika pandangannya tak sengaja saling bertemu.
"Kak Viny.."
Gadis berambut sebahu itu menatap Gracia dan Shani secara bergantian. Hembusan napas kasar keluar begitu saja. Kepalanya mengangguk samar, kemudian berjalan pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama masih terdiam.
Viny berjalan menuju dapur untuk membuatkan segelas teh manis hangat. Meninggalkan keduanya dengan perasaan gelisah.
"Ci.."
Shani menundukan kepalanya. Dengan tangannya yang masih memeluk tubuhnya. Gracia pun berjalan mendekati Shani, menjaga jaraknya beberapa puluh centi dari gadis yang katanya mencintainya.
"Kenapa?" tanya Gracia pelan. Dia mengangkat tangannya menggenggam tangan Shani yang terasa sangat dingin. "Kenapa kamu nutupin semua perasaan kamu ke aku? Padahal kita selalu bareng-bareng dan saling terbuka," seru Gracia begitu kecewa.
Shani menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan tangis yang ingin segera dikeluarkan. Tapi, dia tidak ingin menangis dihadapan Gracia. Dia harus menahan segalanya.
"Aku merasa jadi orang paling bodoh karena gak menyadari hal itu, Ci."
Sebuah senyuman tersungging di kedua sudut bibir Shani. "Aku pernah bilang itu saat kita di belakang kampus waktu lalu, kan? Kamu bilang, hati kamu bukan buat aku sekalipun kamu bisa balas perasaan aku. Tapi, kenapa sekarang kamu seolah lupa sama semua ucapan kamu? Apa kamu anggap ungkapan aku saat itu cuma bercanda?" Shani mencengkram tangan Gracia kemudian dia hempaskan dengan lembut.
"Ci, aku pikir kamu bisa anggap aku sebagai seorang teman.."
"Aku bisa anggap kamu sebagai seorang teman. Selama ini, yang aku lakuin ke kamu itu hal yang dilakuin seorang teman pada umumnya, kan?"
"Ci Shani.."
"Aku gak pernah jujur tentang perasaan aku sendiri. Gak pernah melibatkan kamu dalam segala jenis permainan cinta aku. Semua itu aku lakuin karena aku tau, aku gak pernah bisa milikin kamu, aku gak pernah bisa dapat balasan dari kamu, karena yang ada di hati kamu cuma ada Okta." Shani memejamkan matanya kuat. Dia menghela napas pelan. Kemudian melirik Viny yang berada tidak jauh darinya.
"Ci, aku minta maaf.."
Shani tersenyum manis. "Aku gak marah sama kamu karena kamu gak tahu-menahu tentang ini. Seenggaknya aku bisa jujur tentang perasaan aku yang dulu sampai beberapa hari lalu. Dan aku bersyukur, kak Viny datang di waktu yang tepat, menggantikan tahta kamu di hati aku, walaupun butuh proses yang cukup lama." Jelasnya membuat Viny dan Gracia yang mendengar itu hanya terdiam.
Shani pun berjalan melewati Gracia. Namun, langkahnya dia hentikan ketika dia berhasil berdiri berdampingan dengan Gracia walaupun saling membelakangi.
"Makasih. Karena kamu, aku belajar bagaimana kita harus mencintai seseorang melebihi kita mencintai diri kita sendiri. Kita tetep temenan, ya?" bisik Shani tanpa menoleh.
Dia pun tersenyum tipis saat Viny sudah berada di depan sana sambil membawa segelas teh manis hangat buatannya.
Setelah itu, Shani pun berjalan mengikuti Viny di belakang. Menuju kamar gadis berambut sebahu itu.
Kini, hatinya benar-benar merasa tenang. Tidak seperti pertama kali dia berpacaran dengan Viny yang dimana hatinya masih berada pada Gracia. Dan saat ini, Shani benar-benar merasa bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re:I'am [END]
FanfictionTerkadang, seseorang jauh lebih tahu tentang kita, dibandingkan diri kita sendiri. Dan semua itu terjadi pada ke-empat gadis yang saling berhubungan.