2️⃣3️⃣

18.1K 1.7K 147
                                    

Semoga suka...
Jangan lupa vote dan comment...

Hari yang dinantikan Zuco, hari dimana ia seharusnya menjadi pusat perhatian, berdiri dengan penuh semangat ditengah lapangan, kini hari itu tinggallah hari. Ia tidak bisa menunjukkan, membuktikan permainannya lapangan basket. Ini semua karena ulahnya sendiri, yang tanpa pikir panjang melukai salah satu indera perabanya.

Dengan nafas yang naik turun menahan amarah, Zuco terduduk dengan wajah tertunduk di bawah tempat tidurnya. Sang Ayah terlihat berada di sana, berdiri di hadapannya.

"Pah, masih ada setengah jam lagi. Aku harus berangkat ke sekolah, mereka pasti udah nunggu aku." Ucap Zuco yang masih belum menyerah atas keinginannya untuk bertanding.

Jhonatan menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya.

"Luka kamu belum sembuh, kali ini tolong nurut sama Papah."

Zuco mendengus kesal dengan tangan yang mengepal. Kemudian bangkit dan berjalan ke arah meja belajar miliknya.

"Arrrgh!! Sialan!" Zuco membanting semua hal yang berada di sekitarnya.

"Mau sampai kapan sih nak, hm?"

Zuco memegang tepi meja dengan kuat, membuat telapak tangan kirinya kembali mengeluarkan darah.

"Aku gak bisa banting orang, tapi aku juga gak bisa menahan. Benda-benda ini gak akan merasa kesakitan, am i wrong?" Ucap Zuco.

Zuco tersenyum miring.

"I'll go, aku akan tanding dan menunjukkan kemampuan aku." Tekan Zuco seraya meraih tasnya.

Jhonatan langsung menahan pergelangan tangan putra bungsunya itu.

"Papah gak pernah ngelarang kamu. Tapi untuk kali ini, pikirin luka kamu."

Zuco menarik lengannya. "Luka ini? Luka ini akan sembuh. Apa Papah peduli dengan luka yang gak terlihat?"

Jhonatan mengernyit heran.

"Luka yang bahkan aku sendiri pun gak tahu harus ngobatin dimana."

Zuco menunjuk ke arah hatinya.

"Sesak, sakit, semua itu aku rasain."

"Nak, Papah udah bilang, kalau ada sesuatu cerita. Dokter Gilang selalu berusaha bantu kamu, tapi kamu yang gak mau bantu diri kamu sendiri." Ujar Jhonatan.

Zuco terdiam.

"Bahkan Papah gak ngerti, hal apa yang bikin kamu kayak gini. Depresi? Kenapa? Apa alasannya, tell me! Papah rasa udah ngasih kamu semua hal, otak kamu mikirin apa?" Lelah Jhonatan.

Zuco tersenyum hambar. "Dokter Gilang? Dia siapa? Apa dia Ayah aku? Atau Ibu? Ah enggak, Kakak aku?"

"Zuco kamu kenapa nak, ya tuhan..."

"PAPAH YANG KENAPA?! Kenapa aku harus cerita ke Dokter Gilang? Kenapa bukan Papah? Hah? Aku itu masih tanggung jawab Papah..." Ujar Zuco.

Nadanya terdengar tinggi, namun Jhonatan melihat sorot kekecewaan dari kedua mata tajam nan indah itu.

"Aku bahkan gak tahu harus jawab apa untuk setiap pertanyaan dari Dokter itu. Papah aja orang tua aku, tinggal satu rumah gak ngerti, apalagi orang lain." Zuco melempar tasnya dengan keras.

Kedua kaki pria paruh baya itu melemas, Jhonatan pun mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur.

"Kalau gitu buat Papah ngerti," ucapnya.

"Umur aku udah mau 18 tahun. Aku harus ngasih tahu Papah dari mana? Dari awal Papah kirim aku ke Psikiater, psikolog? Kasih tahu aku, dari mana aku harus mulai?"

ZUCO's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang