Hadiah

186 15 6
                                    

"Gue nggak nyangka lo seberani itu tadi Le. Pak Edo aja skak mat gitu. Belum lagi Vina, udah pucet gitu. Salut gue," ujar Jeni di sela aktivitas mengunyahnya.

Leo hanya memiringkan kepalanya sedikit kearah Jeni yang sedang makan sambil bicara. Sepulang sekolah Jeni, Riska dan Leo sengaja berkunjung ke kafe milik Randi. Dan kebetulan juga Randi sedang keluar. Kata Gita, Randi sedang mengunjungi cabang kafe yang baru di buka.

"Lo mau kemana?" tanya Riska kepada Leo yang tiba-tiba berdiri dari duduknya.

"Nggak kemana-mana, cuma mau nemui Gita aja."

"Kita di cuekin nih?" sela Jeni.

"Udah nggak usah baper ngapa," sela Leo lalu menuju pantri.

Leo menyandarkan tubuhnya di badan pintu, dia melipat tangan di dada memperhatikan Gita berkerja. Bola matanya mengikuti gerak gerik Gita.

"Tangguh dan sabar," gumam Leo lirih.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya Gita ketika mengetahui Leo sedang memperhatikan dirinya.

Leo menggeleng lalu mendekat.

"Stop! Ini dapur. Jangan kesini," larang Gita.

Leo mengernyitkan kening lalu menghentikan langkahnya menuruti kata Gita.

"Oke. Aku tunggu di tempat Jeni dan Riska."

Setelah selesai makan ketiganya asik mengobrol. Mulai dari pembahasan tentang sekolah, cowok dan bisnis yang nanti akan mereka geluti.

"Serius lo mau ke luar negeri?"

"Lo kok kayak gak yakin ama gue sih, Ris?"

"Gimana Riska mau yakin ama lo, Jen. Lo aja masih suka ngempeng nyokap lo kan?" sindir Leo tentang niatan Jeni akan kuliah ke luar negeri.

"Kok lo mojokin gue, Le?" sebal Jeni ketika dirinya merasa di remehkan.

"Lagi ngomongin apa sih, seru banget?" itu Gita yang datang dan menempati kursi kosong di sebelah Leo.

"Ini loh Jeni--"

"Nggak penting!" sela Leo ketika Riska mulai bersuara.

"Ini buat Lo," Leo memberikan paperbag kecil kepada Gita.

"Apa ini?"

"Buka dong Git," antusias Jeni.

"Kok kita gak dapet juga Le," protes Riska.

"Ini buat kalian," Leo memberikan paperbag ke Riska dan Jeni.

"Yes!"

"Yuhu..."

Ketiganya bersamaan membuka.

"Syal!" ucap Jeni.

"Pink?" tambah Riska.

Namun Gita hanya diam menatap kagum shal merah yang ada di tangannya. Di usapnya ujung shal yang terjahit namanya. Senyumnya terbit.

"Bagus, aku suka Le," akhirnya Gita memberi respon.

"Shal ini lo sendiri Le yang ngerajut?" tanya Jeni.

"Wah ada namanya di ujung shal," tambah Riska.

"Ah, iya."

"Iya. Gue sendiri yang ngerajut waktu di panti. Selain gue ngikuti aktifitas panti, gue juga mulai ngerajut di waktu kosong. Kalian suka?"

"Suka."

"Iya."

"Banget."

Leo lalu tersenyum mendapati ketiga temannya senang.

"Gue mau ambil kuliah kesehatan." tiba-tiba Leo berbicara tentang pendidikan.

Ketiganya menyimak antusias perihal rencana Leo.

"Kalau gue udah jadi Dokter bedah plastik, lo orang pertama yang gue operasi Git. Gue balikin wajah cantik lo seperti semula. Gue janji."

Ketiganya terdiam menatap Leo dalam. Jadi, ternyata Gitalah yang menjadi motifasi dari keinginan Leo. Astaga ternyata Gita membawa banyak pengaruh di kehidupan Leo.

"Tapi sekolah lo sekarang gimana? Lo kan udah tertinggal?" tanya Jeni tiba-tiba.

"Gue ikut kejar paket." jelas Leo singkat.

"Ah lo, Jen. Otak Leo kan nggak kek otak lo yang lemot, yang lo pikirin cuman makan doang," cibir Riska kepada Jeni.

"Terus aja ya mojokin gue," protes Jeni dan langsung membuat ketiganya tertawa.

Riska dan Jeni memandang Leo yang tertawa lepas. Baru kali ini keduanya melihat Leo tertawa. Semenjak kematian Ibunya, Leo seolah menjadi sosok yang tertutup, senang menyendiri dan akhirnya menjadi seperti ini. Berbeda dengan Leo yang dulu ketika Ibunya masih hidup.

"Udah lama nunggu Le,"

Leo terjengkit kaget saat Randi bersuara di telinganya. Karna terlalu larut dalam obrolannya, Leo tidak sadar jika Randi datang.

"Uh... So sweeat..." ledek Jeni.

"Jantung lo gak lepas kan Le, sekarang?" seloroh Riska.

Cepat, Leo menarik senyumnya, wajahnya memerah.

Randi mendekatkan wajahnya lalu berbisik, "Ayo keruanganku," setelah itu dirinya pergi.

"Cie... Ngomong apo seh? Kok bicik-bicik tetangga..." ledek Riska lebay.

"Kayak nggak tahu--"

"Diem!" ucap Leo memotong kalimat Jeni.

Sontak saja Jeni dan Riska tersenyum meledek.

"Aku... Mau lanjutin kerja lagi. Nggak enak sama Pak Randi dan karyawan lain." Leo mengangguk mengikan.

Leo memasuki ruang milik Randi, belum saja dia menutup pintu, dirinya sudah di kejutkan oleh Randi. Sebuah tangan melingkar di perut Leo. Randi memeluk Leo dari belakang. Membuat gadis itu terkesiap dan malu.

"Udah diem aja. Aku kangen soalnya."

Leo mengusap lengan Randi. Justru sekarang cowok itu menopangkan dagunya di pundak Leo.

"Kamu dari mana?" Leo bertanya namun Randi tetap diam.

"Ran, aku-  hemt..."

Tiba-tiba Randi membopong Leo menuju sofa.

Bersambung...

Kira2 mereka mau ngapain cuba???

Terima kasih sudah membaca sampai bab ini...

Aku si pecandu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang