Misi

285 19 4
                                    


Happy Reading....





"Lo gilak Lee, udah kayak punya nyawa serep aja," omel Riska ketika mobil yang Leo kemudikan berhenti di parkiran sekolah.

Membuka pintu Riska berkata, "gue serasa udah mau di jemput malaikat pencabut nyawa tadi, lo bener-bener gendeng bawa mobil ngebut kayak setan," lanjutnya. Namun yang di omeli cuek dan tidak merespon.

Leo hanya melirik setelah menutup pintu mobilnya.

"Pagi- pagi udah berkicau lo, Ris?" Jeni bersuara sambil merangkul Riska dari belakang. Riska juga baru sampai.

"Lo gak tau apa hah! Gue hampir modar tadi, jantung gue mau keluar dari tempatnya, Lo bayangin aja Jen. Leo nyetirnya kayak setan alas tad--"

"Dan gue tadi semobil dengan demit ," sambar Leo cepat.

Jeni terkekeh melihat kedua sahabatnya beradu mulut. Leo lantas memutar matanya malas meladeni Riska, lebih baik ia pergi jika di ladeni juga sampai siang gak akan kelar. Leo lemah dalam beragumen.

"Nah liat tuh si Leo, Jen. Dengan tanpa berdosanya dia pergi," kesal Riska ngotot.

"Udah loh lah Ris, udah tau dia itu kayak gitu. Lo aja yang berlebihan."

Riska mendelik, ternyata Jeni pun tak dapat membantu banyak. Justru Jeni juga pergi meninggalkannya. SIAL.

***

Vina duduk di bangkunya, tatapannya memandang kedepan kosong. Ia teringat kejadian semalam, membuat matanya terasa panas ingin menanggis. Belum lagi dadanya terasa sesak.

"Vin."

Vina tidak merespon ketika di panggil Ghea. Ia masih dengan lamunannya.

"Woy!!" Panggil Ghea tepat di telinga kirinya.

Vina tersentak kaget. Ia berdiri.

"Masalah lo apa sama gue!!" bentaknya. Sontak seisi kelas beralih pandang ke arah mereka.

Ghea dan kedua temannya terheran. Kesambet apa Vina pagi ini. Tidak seperti biasanya.

"Lo mau kemana Vin?" tanya Ghea sambil mencegah Vina pergi.

"Bukan urusan lo." desisnya.

Vina sudah tidak tahan lagi, ia ingin menangis. Inilah titik terendahnya. Dimana ia sangat kalut dan hilang kepercayaan dirinya. Jati dirinya di pertanyakan.

Bugh...  Sambil mempercepat langkahnya ia justru menabrak seseorang, tatapan mereka saling bertemu.

"Lo!!"

"Pakai kacamata kuda, biar pandangan lo terang. Dasar tolol!"

"Gue lagi gak mau ribut sama lo, Lee."

"Apa gue perduli." desis Leo lalu berlalu dengan angkuhnya.

Vina sampai di atas rooftop, ia lalu duduk di lantai rooftop. Menangis meraung. Pagi ini ia hanya ingin menangis sendirian. Hanya sendirian.



***

Leo menghela napas panjang malas setelah memasuki kelas. Raut wajahnya berubah kesal mendapati seorang melempar senyum kepadanya. Dia adalah Marcel yang sedang duduk di kursinya. Menyebalkan.

"Pagi..." sapanya beringsut berdiri dan mempersilahkan Leo duduk.

"Pagi..." sapanya untuk ke dua kalinya setelah Leo duduk.

"Mau lo apa?" tanya Leo ketus.

"Oke, to the point aja gue, pulang sekolah gue mau ajak lo makan. Makan di tempat Aban--"

"Gak bisa."

"Dengerin gue dulu Le, jangan di potong," kata cowok itu bernada kasihan.

Leo menoleh menghadap Marcel dengan tatapan datar.

Tersenyum Marcel berkata, "Please, gue gak akan pergi sebelum lo bilang 'Iya'," ucapnya tersenyum dan menaikkan kedua alisnya dua kali.

Leo membuang pandang, ia hanya diam dengan wajah datarnya. Mau sampai kapan ia akan disini jika dirinya tidak menjawab. Tak lama bel berbunyi, semua teman sekelas Leo sudah masuk.

"Keluar," perintah Leo.

"Gak akan Lee, sebelum lo bilang, IYA."   kekehnya.

"Serah!"

Serius, Marcel sangat nekat, pagi itu semua murid menatapnya heran. Heran dengan aksinya. Ia tetap berdiri di samping tempat Leo duduk. Sampai Bu Septa masuk. Kelas pertama Matematika.

Awalnya Bu Septa tidak menyadari keberadaan Marcel, setelah Bu Septa duduk dan menghadap ke anak didiknya matanya mulai menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

"Marcel, ngapain kamu disini. Inikan bukan kelas kamu? sana keluar."

Suara khas berat Bu Septa menggelegar, guru yang terkenal ke galakannya itu mulai bersuara.

Agak terkejut memang Marcel dengan suara lantang guru di depan sana. Marcel lalu menoleh ke arah Leo yang tetap tidak perduli. Menghela napas, Marcel menowel bahu Leo meminta bantuan.

"Marcel, Ibu butuh penjelasan!" Marcel terkesiap kaget.

"Marcel," suara berat itu terdengar kembali.

"Saya gak akan pergi sebelum Leo menjawab  Iya dari ajakan saya Bu," ucap Marcel memberanikan diri.

"Leo, memang Marcel ngajak kamu apa?"

Terdengar suara helaan napas dari gadis itu. Pagi ini Leo rasanya ingi mengamuk.

"Jawab Lee," gumam cowok disampingnya.

"Leo... Apa Marcel mengajak kamu menikah?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Bu Septa, Leo mendelik kaget. Belum lagi suara riuh murid sekelas. Sangat berisik. Sial Leo tersudut.

"Kalau Leo mau, pulang sekolah kita langsung nikah," saut Marcel asal mangap.

Leo melempar tatapan sengit. Cowok di sampingnya memang gila.

"Marcel!"

"Ah, iya Bu. Aku hanya ingin mengajak Leo makan di tempat kafe Abang ku sepulang sekolah," jujurnya.

"Leo cepat jawab, kelas akan di mulai," guru itu mendesak Leo.

"Kalau lo gak jawab Iya, gue gak pergi," Marcel mengancam.

"Leo... Waktu kita terbuang nih,"  ucap Bu Septa.

" Iyain ajalah Le..."

"Iyain ajalah, sekedar makan juga."

"Iya Lee, makan gratis"

"Iya Lee. Mau ajalah." Saut murid yang lainnya.

Kesal, Leo menatap Marcel marah.

Marcel menunggu.

Leo mengangguk.

"Jangan nganguk. Ambigu jawaban lo." desak Marcel.

"Iya," desisnya lirih.

"Apa? gak denger gue.?

"Dasar budek!" tajam Leo jengkel.

"Serius."

"IYA!!" bentak Leo

Senyum Marcel terbit. Dan tepuk tangan bergemuruh.

"Puas Lo! Pergi sana!" usir Leo lantang.

Marcel menang telak. Misinya Berhasil.







****

Bersambung...

Aku si pecandu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang