Ajakan

198 16 7
                                    

Pipi Leo terasa panas, jantungnya berdegub kencang. Belum lagi tatapan intens dari Randi dengan jarak wajah keduanya sangat dekat.

"Apa nggak terlalu dekat?"

Randi tersenyum jahil.

"Namanya juga kamu ada di pangkuanku. Jadi wajar kan jika dekat," Randi semakin mempertipis jarak bibirnya.

Cup!

"Aku kangen banget," ucap Randi gemas setelah mengecup bibir Leo.

Leo mematung, lalu mengerjapkan mata cepat.

"Kam- hempt..." Leo tak mampu lagi berkata saat bibir Randi sukses membungkam bibirnya.

Leo kira ini mimpi, namun ini nyata. Hampir sebelas bulan tidak bertemu, seperti ini kah yang namanya rindu?
Leo melingkarkan kedua tangannya di leher Randi. Randi merengkuh pinggng Leo.
Perlahan Leo mulai menerima kecepan Randi lalu mereka memperdalam pagutan demi pagutan.

"Berat," bisik Randi di depan bibir Leo.

Leo mengernyitkan kening tidak paham. Oh mungkin rindu yang dirasakan Randi yang berat.

"Aku juga."

Mendengar pengakuan gadis di pangkuannya membuat Randi tersenyum geli.
Kenapa tersenyum seolah mengejek? Apa dirinya terlihat bercanda?

Leo menatap Randi dalam, iris mereka saling menumbuk.

"San?"

"Iya."

"Kamu berat," ucap Randi.

"Apaan sih? Aku nggak ngerti deh."

Randi menghela napas panjang. Bola matanya menyisir tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Seolah memberi isyarat.

"Paham?"

Leo mengerti. Yang di maksut berat adalah beban tubuhnya. Leo mendecak sebal dan cemberut.

"Aku suka kamu," gemas Randi sembari mencubit hidung gadis yang ada di pangkuannya kini.

"Jadi..."

"Jadi ini..." Randi memeluk Leo erat. Sangat erat sampai gadis itu susah bergerak. Sangat erat seolah tak ada hari esok.

"ENAK YA YANG ENA ENA..." itu suara Marcel yang datang tiba-tiba mengagetkan keduanya.

Baik Randi dan Leo langsung mengambil posisi duduk masing-masing.

"Nah! Ke-gepkan? Hayo loh..." cerca Marcel yang lalu duduk di meja kerja Randi.

"Lo ngapain kesini?" sinis Randi.

"Iya. Iya, yang lagi wik-wik..."

"Jangan ngawur lo Cel," tegur Leo.

"Baik calon kakak ipar, nyerah deh kalau kakak ipar udah buka suara," ucap Marcel menangkupkan kedua telapak tangan.

"Oh ya Bang, gimana kafe barunya? Sukses?" Marcel mulai mengalihkan pembicaraan.

Merasa ada obrolan yang serius, Leo mulai beranjak dari sofa.

"Kemana?" tanya Randi mencekal pergelangan tangan Leo.

"Keluar."

"Nggak usah kakak ipar. Adikmu ini cuman sebentar kok. Ini udah mau keluar."

Sumpah, Marcel ini benar-benar menjengkelkan sekali. Andai dia bukan adik Randi, mungkin kepalanya sudah Leo benturkan di meja yang dia duduki.

"Ya udalah Bang. Nanti malem kita bahas aja di rumah," Marcel mulai bangkit. "Awas loh, berduaan di tempat sepi, yang ketiganya Setan." ejek Marcel sebelum pergi.

"Elo setannya!" geram Leo.

Marcel terkekeh lalu keluar dan menghilang di balik pintu dan di ikuti Randi yang mengunci pintu.

"Dia emang kayak gitu."

"Iya minta di hajar!" sarkas Leo

"Hempt... Gemesnya..." peluk Randi.

"Kamu kenapa sih meluk-meluk terus--"

"Ayo menikah?" ajak Randi tiba-tiba.

"Sinting."

"Emang. Aku nggak mau kamu pergi lagi."

"Aku nggak akan pergi." ucap Leo lalu mengajak Randi duduk di sofa sebelumnya.

"Kamu tahu San, selama kamu di panti aku sangat kesepian. Hanya pekerjaanlah temanku selama ini. Mungkin ini rejeki aku. Jadi dalam waktu singkat aku bisa sepeti ini," Leo mengangguk menyimak.

"Aku mencintai kamu, bahkan kamu nggak bisa menyangkal lagi. Selain aku cinta kamu, aku juga mapan dan tampan. Lalu apa yang membuat kamu bakalan nolak aku? Kamu sudah nggak bisa nolak aku,"

Leo lantas tersenyum lalu menangkup kedua pipi Randi.

"Dengar, usiaku terlalu muda untuk menikah. Kamu juga. Lagian usia kita terpaut tiga tahun. Aku ingin sekolah lagi. Mengejar cita-citaku. Kamu tau apa cita-citaku nanti? Aku mau jadi Dokter bedah plastik."

"Yah! Aku di tolak."

"Bukan di tolak Randi... Aku menerimamu. Namun aku juga mau mengejar cita-cita. Gimana?"

"Baiklah. Semangat buat Nyonya Randi."

Keduanya tertawa lepas.

*****

"Dokter, sebentar lagi perban pasien atas nama Gita akan mulai di buka. Operasi perdana Dokter berjalan sukses. Selamat," ucap suster yang tengah berjalan mensejajarkan langkah dengan Dokter yang nampak terburu-buru melangkah memasuki ruang kerja.

Bepp... Bepp...

"Halo?"

"Malem ini datangkan ke acara pernikahanku?"

"Gak janji."

"Nggak usah ngomong kayak gitu lah. Masa iya lo gak dateng di acara nikahan gue ama Marcel. Gilak aja, calon adik ipar nikah, Lo nya nggak dateng!" sembur seoranp panjang lebar dari sebrang telepon.

"Berisik!" kata Leo lalu mematikan sambungan telpon.

Sudah lima tahun berlalu. Sedikit info selama itu pula Marcel dan Jeni membina hubungan dan sekarang mereka meresmikan di jenjang pernikahan.

Dan selama lima tahun juga, apa yang Leo cita-citakan sudah tercapai. Serta janji yang di ucapkan sudah dia tepati. Rasanya hidup Leo sudah tertata sesuai keinginannya.

"Coba, kamu lihat wajah kamu di cermin?" perintah Leo kepada Gita.

Perlahan Gita mulai memberanikan menatap pantulan wajahnya. Senyumnya mengembang. Bersamaan dengan itu air matanya mengalir. Ternyata orang di depannya ini memang benar-benar menepati janjinya.

"Jadi..."

"Terima kasih Dok."

"Ya... Setidaknya buat ukuran pemula kayak aku ternyata hasilnya memuaskan." ujar Leo bangga.

"Dasar!" desis Gita.

****/

Bersambung...

1 part lagi TAMAT.

Aku si pecandu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang