9

922 200 12
                                    

[!!!] TW: moderate self-harming, slight mention of blood, description of sexual desire. please consider this warning before you read.

*

Ketika tetes hujan pertama membasahi bumi malam itu, Changbin dituntun oleh ayahnya menuju ke ruangan yang berada di basement. Lelaki itu terlihat mengatupkan rahang kuat-kuat begitu merasakan gelombang panas yang mulai menggerogotinya dari dalam.

Logikanya mulai memudar perlahan, dikalahkan oleh insting yang membuatnya sorot mata dan gelagatnya terasa berbeda. Changbin bahkan kesulitan menarik bibirnya membentuk senyum karena yang bisa ia lakukan saat itu hanya menyeringai sambil mendenguskan napas keras, membuat ayahnya harus mengusap punggungnya berulang kali agar Changbin lebih tenang.

"Sebentar lagi sampai, Nak. Bertahanlah," ayah Changbin berkata.

Dulu sebelum sang ayah bertemu ibu, pria itu juga sering mengalami hal serupa Changbin. Saat rut merupakan satu kepingan tidak menyenangkan yang ingin ia lenyapkan dari kehidupannya. Changbin pun begitu. Ia harus menghadapi 48 jam lebih penuh siksaan ketika masa rutnya tiba.

Mungkin karena saat itu merupakan masa di mana seorang alpha harus bersama omega dan melepaskan hasrat terpendamnya, Changbin pun juga mengalami fase di mana ia berpikir ingin kabur dan mencari omega di luar sana yang sedang heat untuk memuaskannya. Sehingga ia bisa lepas dari penderitaan itu dan tidak perlu menyakiti diri sendiri.

Naluri semacam itu alamiah, wajar dialami oleh seorang alpha maupun omega. Namun Changbin sudah bertekad tidak ingin tunduk pada diri sendiri. Ia akan mengalahkan insting itu meskipun dalam prosesnya ia harus mengorbankan diri sendiri.

Menoreh luka di kulitnya sendiri adalah salah satu cara untuk mengalihkannya dari penderitaan itu.

Begitu sampai di pintu basement, Changbin segera berlari melewati pintu dan meringkuk di sudut ruangan.

Tempat itu mungkin terlihat seperti sebuah ruangan tak berpenghuni yang tidak memiliki perabot memadai. Hanya ada sebuah samsak besar di tengah ruangan dan sebuah sofabed yang sudah cukup koyak di dekat pintu masuk. Ada sebuah kamar mandi di sudut yang berseberangan dengan tempat Changbin meringkuk saat ini. Lantai dan atap serta dindingnya dicat warna biru gelap. Bahkan lampunya pun hanya ada di tengah dan bercahaya redup.

Ayah dan ibunya sengaja membuat ruangan itu sedemikian remangnya agar Changbin bisa cukup tenang selama masa isolasinya karena ia bisa sangat terganggu dengan cahaya terang. Dan jika diisi dengan banyak perabotan, mereka takut akan lebih berbahaya bagi Changbin karena putra mereka bisa saja merusak perabot dan sengaja melukai diri sendiri dengan lebih brutal lagi.

"Istirahatlah, Binnie. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," itulah yang diucapkan ayah Changbin sebelum pria itu mengunci pintu basement, meninggalkan Changbin sendirian dalam keremangan.

Napas Changbin mulai terengah saat kepalanya mulai berdenyut nyeri, pertanda hormon yang mempengaruhi masa rut-nya mulai mengalami peningkatan. Biasanya kondisi ini akan bertahan selama berjam-jam hingga seharian, membuat Changbin harus mengitari ruangan itu untuk membuat kepalanya berhenti meneriakkan keinginan untuk keluar dari sana dan mencari omega untuk melampiaskan nafsunya.

"Fuck."

Changbin mulai merasakan sakit karena semakin frustrasi. Tubuh Changbin meringkuk dalam. Kuku-kukunya yang tumpul mulai menggurat kulit, meninggalkan jejak merah di sekujur tubuh. Lantas pria itu tiba-tiba mengerang ketika rasa sakit itu semakin menjadi, tetapi ia tidak bisa menyingkirkannya. Kini pria itu tergeletak di lantai dan berusaha menghidu sekitarnya, berusaha mencari aroma manis yang membuatnya lapar dan tidak sabar ingin membenamkan giginya pada leher yang menguarkan aroma memabukkan itu.

Leher para omega.

Namun tidak sedikitpun aroma manis itu tertangkap oleh inderanya. Kening Changbin berkerut kesal sebelum ia bangkit dan terhuyung, lalu meninju dinding di depannya dengan tangan kosong.

"I can...I can do this. I can stop this," geraman penuh determinasi itu tercetus begitu saja dari mulut Changbin tanpa disadari. Logikanya mulai tersingkir jauh di sudut benak hingga seluruh pikirannya hampir dikuasai oleh insting. Namun ia masih berusaha menyemangati diri sendiri di antara rasa frustrasi yang menyiksa.

Changbin butuh, butuh sekali mencari pelampiasan. Namun tekadnya sudah bulat. Ia akan membuat dirinya lupa pada penderitaan ini dengan menendang dan memukul apapun yang ada di dekatnya, termasuk dinding yang melingkupinya ini.

***

Hyung? Changbin hyung?

Changbin mengerjapkan matanya yang terasa berat dan menyesuaikan diri dengan sebersit cahaya remang yang mengganggu pandangan. Ia berusaha menaungi matanya dengan tangan dan mencari sumber suara dalam yang terdengar familiar itu. Namun ketika matanya benar-benar terbuka, Changbin segera menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya sendiri.

'Suara tadi...,' bisik Changbin pada diri sendiri.

Diperhatikannya secercah siluet langit dari balik ventilasi kecil di loteng yang sudah kembali gelap. Bisa dirasakannya hawa dingin mulai menyergap di ruang bawah tanah itu, menandakan bahwa di luar sedang hujan deras. Aroma hujan yang menguar dari ventilasi tersebut mengingatkannya pada seseorang, membuat perasaan Changbin perlahan mulai tenang.

Ia masih berbaring telungkup di lantai. Pakaian atasnya sudah sejak awal ditanggalkan, ketika kegelisahan membuatnya sulit berpikir jernih. Ada lebam dan juga bekas cakaran kukunya yang tumpul di tubuhnya, dan luka terbuka pada buku-buku jarinya karena digunakan berkali-kali untuk meninju samsak hingga dinding dan lantai.

Changbin tidak pernah mengalami luka yang terlalu parah saat berada dalam masa rut. Ia merasa bersyukur karena setidaknya ia masih cukup terkendali meskipun tetap saja cenderung menyakiti diri sendiri. Biasanya ini ia lakukan untuk membuat dirinya terdistaksi dari keinginan untuk mating saat masa rut-nya tiba.

Barangkali masa rut-nya sudah hampir berakhir sehingga Changbin pun perlahan mulai bangkit dan membersihkan diri menuju kamar mandi yang ada di sudut lain ruangan. Di sana sudah tersedia handuk, pakaian bersih, serta perban untuk membalut luka dan beberapa obat-obatan.

Dua hari berada di sana dan meninju berbagai permukaan selain samsak membuat energinya terkuras habis. Changbin pada akhirnya tertidur sejenak di bak mandi ketika rasa lelah menyergap raganya. Beruntung ia segera tersadar dari tidurnya. Setelah mengganti baju dan mengobati serta membalut lukanya, Changbin menekan tombol interkom untuk memberitahu ayahnya bahwa ia sudah cukup aman.

"Oke, appa akan segera ke sana, Binnie."

Begitu interkom dimatikan, Changbin otomatis menghenyakkan tubuh ke sofabed yang sudah hampir rusak itu. Ia hampir saja tertidur jika seseorang tidak segera muncul dan membuka gerendel pintu. Changbin hendak bersiap-siap berdiri ketika mendadak saja suara seseorang yang tadi didengarnya di mimpi tertangkap inderanya.

"Hyung...? Are you...are you okay?" tanya Felix yang kini sedang menatapnya dengan sorot mata kaget dan penuh kekhawatiran.

Under The Moonlight ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang