18

887 185 14
                                    

Changbin pikir Felix cuma bercanda.

Nyatanya pemuda itu benar-benar datang dengan menggeret koper berukuran sedang ke apartemennya dan berencana untuk tinggal bersamanya selama ia mengalami masa rut seperti yang ia katakan di telepon. Changbin hanya bisa terbelalak menatap sang beta yang kini sedang menunggu Changbin untuk memberinya kamar tidur.

"Kamuㅡ," Changbin bergumam, nadanya masih tidak percaya, "kamu serius?!"

"Mmhm," Felix tersenyum, lalu menyerahkan dua kotak ayam goreng kesukaan Changbin, "ini aku bawakan juga makanan kesukaanmu biar hyung nggak merasa rugi karena aku tinggal di sini. Aku cuma numpang tinggal aja, kok. Biaya hidup sehari-hari akan aku ganti nanti."

"Lix, bukan itu masalahnya," Changbin menggelengkan kepala, tidak setuju dengan ucapan Felix. Dia sama sekali belum diberitahu dan Felix tiba-tiba saja memutuskan untuk menginap. Bukan tipikal Felix rasanya yang bersikap seenaknya seperti ini.

"Terus apa?" tanya Felix lagi, "Aku kan sudah bilang kalau kita akan ganti strategi. Seperti ini maksudku, Binnie hyung."

Changbin menghela napas sembari bersedekap, mau tidak mau merasa curiga dengan motif tindakan Felix kali ini.

Jangan kira ia tidak tahu apa yang direncanakan oleh orangtuanya mengenai keinginan mereka untuk mencarikannya pasangan. Meskipun mereka bilang tidak akan memaksa, tetapi pembicaraan keduanya dengan Felix tempo hari masih terngiang jelas di telinga Changbin. Dan meskipun belum ada jawaban dari Felix apakah ia setuju dengan tawaran orangtuanya atau tidak, Changbin tetap harus waspada dengan 'partner'-nya ini.

"Apa hyung keberatan? Apa hyung...nggak mau kulindungi?"

Gumaman Felix yang terdengar muram membuat Changbin tersentak dari lamunan. Ia menatap Felix dengan sorot tidak percaya, kelopak matanya melebar kaget. Changbin bingung dengan sikap Felix yang tiba-tiba berubah pasif agresif begitu. Pria itu lantas menggaruk kepalanya bingung sebelum menghembuskan napas berat.

"Kok bicara begitu, sih? Aku kan nggak bilang apa-apa," ujarnya.

"Tapi hyung kayaknya keberatan banget..."

"Lix, aku nggak keberatan. Oke?" Changbin lekas menyergah sebelum pemuda itu makin larut dengan kesalahpahamannya. Lantas ia pun melanjutkan ucapannya, "aku cuma bingung karena kamu tiba-tiba memutuskan sesuatu tanpa mendiskusikannya denganku. Itu saja."

Bibir Felix sedikit mencebik sebelum ia menundukkan kepala.

"Jadi...sekarang gimana? Apa aku boleh tinggal di sini? Atau aku pulang aja?" tanyanya lagi. Changbin hanya bisa menatap Felix dalam diam selama beberapa detik sebelum menyerah.

"Ya sudah. Kamu boleh tinggal. Aku beresin dulu kamarnya."

Seketika wajah Felix yang semula muram berubah sumringah. Changbin tertegun sejenak menatap senyum yang terukir di bibir Felix sebelum menyadari bahwa ia menatap pemuda itu terlalu lama. Changbin berdehem lalu memutuskan untuk berjalan menuju kamar tamu yang akan digunakan Felix nantinya.

Meninggalkan pemuda itu sendirian di ruang tamu.

***

"Minho hyung, lagi sibuk?"

Changbin memakai earphone wirelessnya saat menghubungi Minho malam itu. Ia baru saja punya waktu senggang setelah membantu Felix membereskan kamar yang akan ditempati pemuda itu lalu memasak makan malam. Ia hanya membuat nasi goreng kimchi untuk yang kemudian mereka santap bersama ayam goreng yang dibeli Felix.

"Nggak. Kenapa?" jawab Minho santai. Changbin menyandarkan punggung di kursi kerjanya sebelum menutup wajah dengan tangan.

"Hyung, kamu ingat Lee Felix yang kuceritakan itu? Beta di klannya Chan hyung?"

"Oh, ingat. Kenapa memangnya, Bin?"

"Dia tiba-tiba memutuskan buat tinggal bersamaku selama masa rut."

Ada jeda sejenak yang melingkupi pembicaraan telepon itu sebelum tawa Minho meledak di seberang sana. Changbin sampai harus melepas earphonenya karena pemuda itu tertawa terlalu keras.

"Hyung!"

"Sori, sori. Kamu bilang tinggal bersama?! Kenapa kedengarannya kalian seperti sudah mating," pemuda itu masih tergelak, membuat Changbin kesal sendiri.

"Kami nggak mating," gerutunya.

"Oh, tapi dia tinggal di sana selama masa rut-mu~" Minho bersenandung, kelihatannya puas sekali mengolok Changbin. Ia jadi menyesal karena menelepon Minho untuk meminta saran.

"For Heaven's sake, he is a beta, hyung. He doesn't react to my scent at all."

"Mating nggak cuma soal tertarik dengan baumu atau nggak, Changbin," ujar Minho lagi, "maybe he is in the mids of developing a feeling for you."

"Nonsense," sergahnya cepat. Rasanya Changbin sulit membayangkan Felix, seorang beta sekaligus partner yang ia percaya bisa membantunya menahan diri dari godaan omega, bisa memiliki perasaan terhadap alpha denial sepertinya. Felix kan tahu sendiri betapa Changbin menolak tegas mating karena ia tidak ingin punya kelemahan.

"Kuberitahu ya, Binㅡ"

Kekehan Minho kini sudah reda, digantikan menjadi nada bicara yang terdengar lebih tenang dan cukup serius.

"Mating itu nggak seburuk yang kau pikirkan. Nggak semuanya soal berhubungan badan dan segala tetek bengek yang terjadi saat proses itu. Mating itu soal menjaga dan dijaga. Soal saling melengkapi. Nggak usah jauh-jauh melihat contohnya, lihat saja orangtuamu. Mereka bahagia, kan?"

Changbin menggigit bibir, entah kenapa merasa seperti tertampar mendengar ucapan Minho. Meskipun pria itu menyebalkan, tetapi Changbin akui pemikirannya memang lebih bijak dibanding dirinya yang merupakan pemimpin klan saat ini. Itulah yang membuat Changbin menjadikan Minho penasehat pribadinya.

"Kemarin waktu kami ke tempat orangtuaku, aku nggak sengaja menguping pembicaraan mereka. Appa dan eomma meminta Felix untuk menjadi mate-ku. Tapi dia baru menanyakan alasannya, belum sempat mengatakan jawabannya. Aku nggak bisa mendengarnya sampai akhir waktu ibuku ikut bicara."

"Hm," Minho bergumam, "kenapa begitu?"

"Nggak bisa. Aku takut dengar eomma sedih," akunya. Minho lantas membalas dengan kekehan pelan.

"Anak baik~"

"Tapi aku juga nggak mau melukai Felix...kalaupun ibuku meminta untuk mating dengannya sesegera mungkin."

"Nggak harus seperti itu juga, Bin. Pelan-pelan saja," ujar Minho lagi, "kalau memang kau berniat untuk menjadikannya pasanganmu, kamu bisa mendekatinya pelan-pelan. Kenali dia dulu. Kalau memang menurutmu dia bisa jadi pasanganmuㅡdan kalau dia mauㅡkalian bisa mating."

Changbin mencebik dalam diam, entah kenapa ia merasa cukup pesimis dengan hal itu.

"Would he want me then?"

Changbin khawatir. Ia takut Felix hanya akan menuruti keinginan Changbin karena posisinya sebagai alpha. Changbin tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi.

Dari seberang sana, Minho terdengar ikut menghela napas mendengar keraguan Changbin. Namun setelahnya, ia pun kembali berkata.

"Kalau kalian berdua memang ditakdirkan bersama, dia akan menginginkanmu bagaimanapun adanya dirimu, Changbin. Tapi untuk saat ini usahakan dulu saja semampumu," tuturnya, "membahagiakan ibumu memang penting, tapi jangan lupa untuk membahagiakan dirimu sendiri. Karena yang akan menjalani hidup adalah kau."

Changbin tersentuh mendengar kata-kata temannya itu. Dalam hati ia berjanji akan menghadiahkan Minho sesuatu begitu mereka bertemu nanti, sebagai ucapan terima kasih karena telah mendengarkan keluh kesahnya dan memberi saran terbaik.

"Makasih, Minho hyung," gumamnya sembari tersenyum menatap langit-langit, "I owe you so much."

Di seberang sana, didengarnya Minho terkekeh.

"Na'ah, don't mention it," balasnya dengan nada ringan.

Under The Moonlight ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang