Peringatan dini : Bab yang ini mungkin akan terasa beda dan membosankan buat sebagian orang. Sesuai dengan musik slow yang aku pilih. Saya rem dulu alurnya ya 😉
PS : Judul lagu nggak ada hubungan sama isi babnya 🤭✌
"Kamu...masuk lewat mana?"
"Pintu depan."
"Kan dikunci."
Namjoon mengeluarkan kunci dari sakunya. "Ini masih kubawa."
Seokjin tertegun menatap telapak tangan Namjoon. Telapak tangannya lebih besar daripada miliknya. Well, mungkin semua milik Namjoon lebih besar daripada miliknya.
"Eh?" Seokjin menyadari pikirannya sendiri dan menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusirnya.
"Ada apa, Jinseok?"
"Nggak apa-apa."
Keduanya terdiam. Namjoon menatap kagum ke arah kulit mulus Seokjin. Ia dapat mengingat betapa halusnya kulit Seokjin saat mereka bersentuhan. Namjoon mendekat perlahan dan berhenti saat mereka berhadapan.
"Jinseok, boleh aku bersamamu malam ini?"
"Aku takut dikecewakan lagi."
"Aku tidak akan meninggalkanmu kali ini."
"Aku nggak yakin, Namjoon." Seokjin menyapukan tangan di rambutnya. "Kenapa kamu pergi begitu saja malam itu? Aku berhak tahu alasannya. Bicara yang jujur kalau mau aku mempertimbangkan permintaanmu."
"Baiklah. Bagaimana kalau kita duduk?"
Seokjin mengangguk.
"Dan em, Jinseok. Mungkin sebaiknya kau pakai baju. Aku mungkin tidak tahan kalau lama-lama melihat tubuh indahmu."
Seolah tersadar, Seokjin merasakan dingin di tubuh bagian atasnya.
"Oh, shit! Jangan lihat!"
Namjoon masih dapat melihat telinga serta pipi Seokjin yang memerah sebelum sebuah bantal mendarat di wajahnya. Hasil lemparan Seokjin.
"Aku sudah lihat semua kalau kau lupa, Jinseok," ucap Namjoon namun tetap membalikkan badan untuk menghormati permintaan Seokjin.
"Diam!"
Namjoon mendengus geli. Suara Seokjin berubah menjadi lebih melengking saat ia kesal.
"Udah."
Namjoon berbalik dan tersenyum melihat Seokjin yang sudah berpakaian. Mereka memutuskan duduk di tepi kasur dengan jarak yang sedikit berjauhan.
"Dulu, aku punya tunangan. Aku sangat mencintainya dan tidak pernah ragu melakukan apapun untuknya. Semuanya karena aku yakin dia jodohku dan akan selalu bersama sampai kapanpun. Sayangnya tidak begitu untuknya. Pernikahan kami tinggal sebentar lagi tapi tiba-tiba dia meninggalkanku dengan alasan bosan. Ia datang ke ruanganku dan melepaskan cincin pertunangan di jarinya lalu meletakkannya di mejaku."
Seokjin merasa prihatin dengan hal yang menimpa Namjoon. Ia sudah memupuk rasa tak suka pada mantan tunangan pria tersebut.
"Aku sempat berpikir bahwa semuanya hanya mimpi buruk. Ternyata bukan. Kau tahu, aku menabung bertahun-tahun untuk membeli rumah yang bisa kami tempati sesudah menikah. Aku mengeluarkan banyak uang untuk membeli cincin yang dia inginkan dan menyiapkan pesta juga tempat bulan madu yang sesuai keinginannya. Tapi baginya, semua yang aku lakukan membosankan. Dia bosan dan memilih pergi. Tragis ya?"
"Kamu tidak mendekati dia lagi? Mungkin dia cuma gugup karena akan berkomitmen."
"Aku kira juga begitu. Aku menemuinya tidak hanya satu atau dua kali dan mencoba mengubah keputusannya. Tapi sesudah dua minggu mencoba, aku mendapat kabar bahwa dia pindah ke negara lain dan sudah memiliki kekasih baru. Aku berhenti mencoba sesudahnya. Yang dia lakukan sudah merendahkan dan menghancurkan harga diriku. Aku tidak mau dianggap mengemis dan menyedihkan. Aku rasa kau sudah bisa menebak bagaimana sesudahnya."
"Kamu berubah. Menjadi lebih dingin dan mengusir siapa saja yang mau mendekat. Iya, kan?"
"Itu benteng pertahananku. Batas bagi semua orang."
"Menurutku kamu cuma nggak mau atau takut terluka lagi. Jadi, sebelum kamu dikecewakan, kamu memilih mengecewakan. Sebelum ditolak, kamu akan menolak lebih dulu."
Namjoon tertawa hambar.
"Aku tidak menyangka kau bisa membuat kesimpulan begitu. Jinseok, aku tidak pernah mengatakan ini pada siapun, termasuk adikku. Kau, Kim Seokjin, adalah seseorang yang paling ingin aku jauhi."
Namjoon menatap Seokjin yang menatapnya tak mengerti.
"Karena setelah sekian lama, hanya kau yang berani melawan dan menentang sikap dinginku. Kau membuatku penasaran dan bertanya-tanya apakah aku masih bisa jatuh cinta."
Namjoon menangkupkan telapak tangannya di atas tangan Seokjin.
"Kau seperti buldoser. Merangsek masuk tanpa peduli rintangan di depanmu. You are dangerous, Jinseok. Too dangerous for my comfort."
---
Seokjin membasuh tubuhnya di bawah guyuran air hangat. Ia memikirkan kata-kata Namjoon. Sejauh ini, ia hanya berhasil menyimpulkan satu hal. Namjoon merasa takut. Takut menyukai seseorang, takut dilukai, takut dikecewakan, takut tidak dibutuhkan.
"Aku jadi penasaran siapa mantan tunangannya itu."
- Bersambung -
YOU ARE READING
Namjoon's Proposal
RomanceKim Namjoon, seorang dokter bedah muda yang disegani oleh para dokter serta perawat lain di RSU Kota Jeju. Tak pernah tersenyum sejak mantan tunangannya meninggalkan dirinya begitu saja demi lelaki lain. Ia menganggap cinta serta perasaan orang lain...