Make Up [stage 1]

2.2K 194 35
                                    

"Hyung, kau kenapa?" tanya Jungkook yang melihat mata sembab Seokjin.

"Tidak apa-apa."

Suara Seokjin yang sedikit seperti orang flu menambah kecurigaan Jungkook bahwa tetangganya itu baru saja menangis.

"Hyung, kau perlu orang untuk mendengarkan?"

"Terima kasih, Kookie. Tapi tidak sekarang."

"Baiklah, Hyung. Katakan saja kalau kau perlu aku, oke?"

"Oke. Terima kasih, Kookie." 

Seokjin kembali termenung setelah Jungkook keluar dari ruangannya. Ia segera mengambil tisu saat merasa air matanya kembali menetes. Mengapa rasanya sedih dan susah sekali meninggalkan Namjoon? Namun, Seokjin juga tak mau memberi harapan palsu jika ia terus berada di sisi lelaki itu. 

Seokjin mengeringkan wajah lalu membasuhnya. Tak lama setelahnya, ia mendapat pesan yang memintanya menemui atasannya. 

Tok tok tok! 

"Masuk." 

"Anda mencari saya, Dok?"

"Ah ya. Duduklah, Dr.Kim." Atasan Seokjin, Dr.Hani, mengeluarkan sebuah map dan meletakkannya di meja. "Bagian bedah mau meminta bantuanmu lagi."

"Bukankah sudah ada dokter bedah baru di sana?"

"Oh, kali ini beda. Akan ada seminar kecil dengan peserta beberapa dokter bedah muda dan calon dokter bedah minggu depan. Dr.Kim Namjoon akan menjadi pembicara dan dia bertanya padaku langsung apakah dia boleh memintamu mendampinginya pada hari itu. Kulihat jadwalmu minggu depan kebetulan kosong pada hari itu jadi tolong bantu Dr.Kim Namjoon ya." 

Seokjin tahu bahwa ia tak dapat menolak meskipun atasannya itu menggunakan nada yang manis. Ketegasan dan ancaman tampak di matanya. 

"Baiklah, Dok." 

Dr.Hani bertepuk tangan. "Nah, sekarang tolong antarkan ini ke ruang Dr.Kim Namjoon ya. Terima kasih, Dr.Kim." 

---

"Jadi, Tuan Kang, seperti yang pernah saya bilang, kemungkinan operasinya berhasil kurang dari 50%, mengingat kondisi Anda." Namjoon berbicara dengan pasiennya, Tuan Kang Hodong, yang terkena kanker prostat. Istri Tuan Kang juga turut mendengarkan Namjoon.

"Dr.Kim, sekalipun kemungkinannya hanya 10%, aku masih punya harapan, kan?"

"Nyonya Kang, Anda sudah berbicara dengan suami Anda mengenai hal ini?"

"Sudah, Dr.Kim. Saya merasa suami saya ada benarnya. Sekecil apapun itu, ada harapan semuanya berjalan lancar."

Namjoon mengaitkan jemarinya. Sejujurnya ia pun memikirkan hal serupa. Namun, keputusan akhir harus berasal dari Tuan Kang sendiri.

"Kalau begitu-"

Tok tok tok!

"Maaf, sebentar. Ya, masuk."

Pintu ruangan Namjoon terbuka dan rahangnya mengeras saat melihat Seokjin memasuki ruangan.

"Maaf, Dr.Kim. Aku diminta mengantar ini oleh Dr.Hani." Seokjin berkata sambil meletakkan berkas di tepi meja Namjoon. Ia tak berani berlama-lama menatap wajah lelaki itu. "Maaf, saya mengganggu waktu konsultasi Anda, Nyonya dan Tuan."

"Tidak apa-apa, Dokter...." Tuan Kang membaca nama di badge jas Seokjin, "Kim Seokjin. Wah, tidak kusangka dokter-dokter di sini sangat tampan. Ya kan?" Ia menatap istrinya.

"Benar sekali."

Seokjin membungkuk di hadapan mereka. "Anda berlebihan, Nyonya dan Tuan. Saya biasa saja. Tapi, memang dulu saya dikenal sebagai Worldwide Handsome."

Seokjin serta pasangan Kang tertawa. Bahkan Tuan Kang sampai terbahak-bahak. Sementara itu, Namjoon hanya diam sambil menatap Seokjin.

"Kau tampan dan lucu sekali. Apa kau sudah menikah, Dr.Kim Seokjin?"

"Dia tidak mau menikah." Namjoon menyambar jawaban Seokjin.

"Oh, kenapa begitu?" tanya Tuan Kang. Ia sedikit melirik Kim Namjoon sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Kim Seokjin. "Mau kukenalkan pada anakku? Dia cantik sekali dan baru lulus kuliah."

"Dia gay." Lagi-lagi Namjoon yang menjawab, membuat Seokjin meliriknya.

"Oh, kalau begitu kukenalkan pada anak pertamaku. Dia juga gay. Sekarang dia manajer di stasiun televisi."

Namjoon terbatuk mendengarnya.

"Anda tidak apa-apa, Dr.Kim?" tanya Nyonya Kang.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Ekhem, ada lagi yang kau perlukan, Dr.Kim?"

"Tidak, itu saja. Maaf mengganggu kalian. Saya permisi, Nyonya dan Tuan."

"Sampai jumpa lagi, Dr.Kim Seokjin. Kapan-kapan kubawa anakku ke sini ya," ucap Tuan Kang riang.

Namjoon merasa ingin membenturkan kepalanya ke meja berkali-kali gara-gara Tuan Kang.

---

Seokjin terkejut melihat Namjoon duduk di kursi yang biasa diduduki pasien saat menunggu giliran di depan ruangannya. Lelaki tersebut tampak membaca sebuah majalah lalu mengangkat kepala saat mendengar pintu dibuka.

"Sudah selesai?"

"Ya."

"Boleh aku minta ditemani makan? Please?"

Seokjin menghela nafas.

"Oke."

---

"Kenapa kita di rumahku? Katanya kau mau makan," tanya Seokjin.

"Memang iya. Makan kan tidak harus selalu di rumah makan. Di rumah juga bisa."

"Tapi kan tidak harus ke rumahku."

"Jadi mau ke apartemenku saja? Oke, ayo masuk ke mobilku."

"Namjoon-ah! Kau ini kenapa?"

"Kenapa bagaimana memangnya?"

Seokjin memijat pelipisnya. Ia mulai merasa kesal.

"Kau membaca tulisan yang kutinggalkan?"

"Iya."

"Aku memintamu melupakanku, Namjoon."

"Benar. Tetapi aku tidak harus menurutinya, kan?"

"Namjoon, aku tidak mau menikah. Kau ingin menikah. This won't work!"

Namjoon memasukkan tangan ke dalam sakunya.

"Kau bukan Tuhan, Jinseok. Bagaimana kau tahu hubungan kita tidak akan berhasil? Kau bukan orang tuamu walaupun kau lahir karena mereka."

"Aku tidak mau menyakitimu, Namjoon."

Namjoon mendengus.

"Kau yang menolak mengakui perasaanmu sendiri seperti sekarang justru sangat menyakitiku, Jinseok."

- Bersambung -

Namjoon's ProposalWhere stories live. Discover now