10. Kertas Usam dan Pena Hitam

1.2K 415 47
                                    

dibaca pelan-pelan, ya

Selasa itu ada yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selasa itu ada yang berbeda.

Jumantara yang terbentang, berhasil mengusik rasa tenang. Hancur raga serta jiwa milikku. Mayapada kali ini mengusikku. Tidak mau berdamai barang sejenak, aku benci itu.


Rintik air yang meluruh derai, membasahi bumi pertiwi. Molekul air yang tercipta, membuatku seperti hilang arah. Daksa milikku yang kini lelah, terasa resah dan ingin marah.


Semesta, mengapa kau membuatku merasakan lara? Mengapa?

   

Sudah cukup aku merasakan penderitaan, dan sekarang hendak kau isi lagi buncah rusuh darimu?




Langkah jenjang milikku entah sedang berjalan ke arah mana. Menyusuri jalan raya yang padat pengendara, serta iringan canda tawa dari mega kelabu di atas sana. 


Hujan. Aku benci hujan.


Seolah ia tiba sekonyong-konyong tanpa dikomando. Seolah bahana darinya, seperti canda tawa yang tergelak nyata. 

Mungkin beberapa dari mereka menyukai hujan, namun aku tidak. Aku berbeda. Hujan datangnya selalu bergerombol, suaranya gemerisik, dan menimbulkan perasaan bergemuruh dalam kalbu.



Selain hujan, aku juga benci oleh kenyataan perih.

Anindya terkapar lemah, dengan seruan gundah yang membuatku semakin patah.

Tanpa sepeda tua yang terlihat rimpuh, dan sedikit mengesampingkan kisah kasih dengan sang Ayu.

Pikiranku meriuh. Sungguh, buncah rusuh. 

Satu-satunya yang berhasil membuatku tertuju ialah, rumah. Sejauh apapun aku melangkah, rumah adalah tempat terbaik untuk pulang. Sejauh apapun aku pergi, rumah adalah tempat terbaik tuk kembali.



Mengembuskan nafas berat, aku sedikit tersenyum nanar ketika sampai di rumah. Dalam bangunan yang tak terlalu luas namun selesa dan terlihat laras, tak ada siapapun lagi selain aku. Ibuku yang masih berada di rumah sakit, dan ayahku yang baru saja mendapat warta, bergegas menuju ke arah sana.


Sedang aku... tak sanggup melihat daksa nona manis yang masih terkapar tidak berdaya. Aku tak sanggup. Melihatnya masih menutup kelopak mata bagai bunga, atau dengan pasokan oksigen yang tertaut kuat pada penghidunya. 


Aku menatap pantulan kaca usai mencuci muka, lajak menampilkan gurat bibir yang tampak sendu dan terasa kaku.


Baik, untuk kali ini aku hendak berkawan dengan hujan. Nyatanya, ia menutupi sedu-sedan air mata yang tengah meluruh derai di sepanjang jalan. 

Katakanlah aku pengecut, yang tak berani bertatap muka dengan ia, daksa nona berasma Anindya.


Melihatnya terkapar lemah, tanpa gurat bibir cerah darinya. Atau bahkan hanya bertandang ke sana lagi, sepertinya aku tidak berani.


Setelah berbenah diri, kini aku terduduk pada kursi. Menatap secarik kertas kosong sedikit usam, serta sebuah pena hitam.


Mungkin aku bukan orang yang berani mengungkap semua rasa. Aku hanyalah orang biasa, yang hanya bisa menorehkan kata- kata dalam frasa.


Sabtu...
Allah menyertaimu,
Dengan adanya kamu.

Memasuki angka delapan,
Berakhir dengan isakan,
Namun terasa membahagiakan.

Dulu sempat kukira,
Kau akan meninggalkan.
Tapi nyatanya, 
Tak seperti yang kupikirkan.

   
Pujangga, 
Hari ini kau telah bertambah angka,
Beranjak dewasa dan cantik jelita.
Semoga sehat selalu, ya?

Adikku, Sayangku...

Di hari ulang tahunmu,
Aku merasa gelebah.
Di hari ulang tahunmu,
Kau terkapar lemah.
Aku salah apa?
Hingga terasa menyakitkan bagi semua?

   
Semesta kali ini tak mau merestu, Nindy...
Bahkan sang Mentari yang kunanti, 
pergi meninggalkanku sendiri.

Kasihku, 
Lekaslah sembuh
Aku tanpamu, 
rapuh sudah daksaku.

   
Teruntuk Anindya,
Mentari yang sedang berjuang melawan lara...
Kumohon, untuk sekali ini saja.

Dari saya,
Seorang kakak yang hanya berani menoreh kata,
Dengan kertas usam yang mulai berubah warna.

Dari saya,Seorang kakak yang hanya berani menoreh kata,Dengan kertas usam yang mulai berubah warna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


a/n

aku baca sajak dari mas bayu
sedih banget:(
adakah yang sama:( ?

ngomong-ngomong,

terima kasih
sudah membaca chapter ini!
semoga tetap suka
dan
paham dengan cerita ini, ya!

sehat terus ya
teman teman-!♡♡

with love,
L

[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang