19. Puan dan Tuan

815 275 72
                                    

“Aku dengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Aku dengar... kamu akan pulang ke Jakarta, ya?” larik tanya pun mengambang bebas.

Menghela sembari menatap pelataran antariksa yang tengah menampilkan semburat kuning Bagaskara.

“Iya. Memangnya kenapa?” tanyaku heran mendengar bias suaranya yang berbeda. Ada apa dengan satu anak Adam di pagi Selasa?

Gelaknya membumbung tinggi pada kotak tawa. Ia mungkin sedang melukis sabit merekah di seberang sana. “Tidak. Aku hanya... eum... sedikit senang.”

“Tapi aku tidak,” tukasku cepat. Tak lupa rotasi bola mata pun juga tersemat likat. 

Konversasi kami terjeda, tidak ada yang melanjutkan babak kedua, hanya terdengar sayupan hening tanpa maksud apa-apa.

Suara berat yang ia kemukakan, terkadang pernah dirindukan. Barang sejenak, tidak sampai melejit kelak. Pun juga sebatas rindu, tidak sampai menggebu-gebu.

“Sudah dulu, ya? Aku hendak membantu Papa menyiapkan dokumen-dokumen kantor.”

“Masih menjadi sekretaris pribadi Papa?”

Ia menjawab lugas tanpa batas, “Iya, Disa. Jika sudah cukup umurku, mungkin jabatannya sudah berganti lagi.”

Lagi-lagi aku tak menjawab ragam katanya, terlalu malas untuk menguntai aksara. Siapa juga yang ingin berbicara dengannya, padahal aku tidak terlalu suka. 









“Aku tutup dulu, ya. Sampai bertemu lagi di Jakarta—”







“Tunanganku...”












Aksara darinya bercakap seolah ia yang paling percaya diri. Hah, rasanya aku ingin tertawa lagi, mendengar bias suara yang mampu menganomali.

Akan kujelaskan tentang sesuatu yang menggugah jiwa dan raga.

Perkenalkan semesta, pemuda Batavia ini adalah salah seorang Tuan yang katanya pernah mencinta sampai gila, namun karsa yang ia lakukan pun tak pernah ada. Bagaimana bisa meluluhlantakkan Ayudisa, jika ia menyuka tanpa ada usaha. 

Dan apa katanya? Tunangan, ya? Di umur yang masih belia pun aku sudah ada ikatan cinta. Bukan, ini hanya semata-mata, tidak sampai mencinta apapun keadaannya.

Bisa-bisanya aku dijodohkan seperti zaman dahulu. Memangnya aku tidak bisa mencari jodohku? Siapa lagi memangnya yang sudah merencana? Lagi-lagi para tetua lah yang melakukannya. 

Sebegitu ironinya hidup Ayudisa. Penuh lika-liku dalam perjalanan hidupnya. Selalu diatur sedemikian rupa, tak lupa membubuhkan adorasi yang lagi-lagi membutuhkan sepenggal kata derana.

Kediri di pagi hari sedikit mendung ternyata. Bahkan bagaskara yang dinanti itu, nampak sedikit malu-malu di balik awan kelabu.

Usai sambungan kami terputus tadi, aku bangkit dari kursi hendak mengambil jaket berwarna putih. Tungkaiku lekas merajut langkah, keluar dari penginapan ingin merasakan hawa dingin yang merekah.

[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang