13. Menawan nan Rupawan

991 346 35
                                    

Sajak-sajak nusantara seperti lembayung senja, terasa nyata dalam membekap rasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sajak-sajak nusantara seperti lembayung senja, terasa nyata dalam membekap rasa. Ketika sedang senggang-senggangnya, pada notasi telak merujuk angka sepuluh pagi, ia bertandang kemari. Ditemani oleh paras eloknya yang mempesona, serta sapuan hangat surai legamnya, Ayudisa menunggu tepat di depan rumah.

Menyadari bahwa seperti ada yang kemari, lajak membuka daun pintu berwarna putih. Tersenyum lebar kala mendapati ia yang sangat jelita dipandang mata. 

Masih pagi, tapi ia sudah cantik berseri, padahal aku belum pergi mandi.


“Assalamualaikum...” salamnya, ketika masuk ke dalam. Lekas menjawab, dan mempersilahkan ia untuk terduduk.

Sembari menuju dapur, diriku mengetuk daun pintu kamar orang tuaku. “Bu, niki wonten tamu...” 

(Bu, ini ada tamu...)

Beliau yang baru saja menyuapi Anindya pun membuka pintu. Malaikat tanpa sayap yang tegas dalam membimbingku itu, lekas bertutur, “Ana sapa, le?” Ibuku menoleh ke kanan dan kiri.

(Ada siapa, nak?)

Aku segera menggeser tubuh. “Re-rencang e kula, bu...” jawabku malu-malu. Serius, mengapa aku jadi tergugu?

(Te-temanku, bu...)

Menatapku sejenak, sembari tergelak. “Walah... kanca apa kanca, le?” jahil Beliau. Aku tak mengindahkan, lebih baik menghindar daripada ditanya terus-terusan.

(Wah... teman-apa teman, nak?)

Aduh... rasanya seperti sedang kasmaran. Ah, apa seperti ini ya, rasa merah muda? Asramaloka memang tak ada duanya...

Di lain sisi, Ayudisa berdiri dari kursi. Ia tersenyum ketika menatap ibu, tak lupa untuk mencium punggung tangan Beliau. 

Bertanya sembari menatap iris kelam milik sang Puan. “Aduh Ayune... jenenge sapa iki?” 

(Aduh cantiknya... namanya siapa ini?)

“Ayudisa, Bu,” walau pertanyaan yang dilontarkan kepada sang Empu, namun aku lah yang justru menyambar jawaban itu.

Meletakkan nampan yang berisi tiga gelas minuman segar, daksaku memilih tuk mengambil posisi di seberang Ayudisa. Sedang ibuku, berada tidak jauh dari sang Ayu.

Pendar binar pada netra jelaganya semakin tertampak, kala menatap Ayudisa lekat-lekat. Maklum, baru pertama kali kemari. “Ya pantes wae... Ayu ngene. Ya to, nduk?” 

(Ya pantas saja... cantik begini. Ya 'kan, nak?)

Ia tersenyum malu-malu.

“Diminum...” aku mempersilakan ia seraya tersenyum manis.

Ia mengangguk segan, begitu pula pada Ibuku. “Mari, bu...”

“Iya-iya, nduk. Monggo...”

[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang