[TELAH TERBIT]
❝ kala semesta menciptakan kamu,
sungguh teramat candu bagiku.
gemintang pada manik indahmu,
meruntuhkan jagat dan seisi kalbu.
kudengar, kamu sedang bersemu,
sebab katanya, aku hanya milikmu ❞
✧ ft. 제이크 ENHYPEN...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🎵[Bertaut- Nadin Amizah]
Baswara sang Surya sudah tertampak malu-malu. Dersik pun mengalun kencang pada runguku. Bahkan payoda di atas sana sedang mengelabu. Apa semesta hendak melimpahkan rahmat di hari Rabu?
"Sisih ngalor, Le..."
(Bagian utara, nak...)
Netra legam bulat beralih atensi, aku pun lekas menyetujui sebab mendengar bahana dari sang Relung hati.
"Arep udan iki kaya'e...lha mendung peteng ngene," ayat katanya pun dilontarkan cuma-cuma. Sedang aksa jelaga milik sang Puan mengilat kecewa.
(Mau hujan sepertinya... mendungnya gelap gini)
"Le... mengko lek udan ngiyup dhisik, ya, ben ora kudanan," ujaran dari si Ibu dilontarkan padaku. Aku lekas mengangguk setuju mendengar penuturan itu.
(Nak... nanti kalau hujan berteduh dulu, ya, biar nggak kehujanan)
Selepas menyisihkan tiang jemuran, tungkai besarku segera menuju ke bagian Selatan. Hendaknya... menepikan sebuah transportasi modern agar tak terciprat bulir-bulir hujan.
Ah... benar-benar semesta, kalau sudah seperti ini, bagaimana aku hendak pergi?
Arah pandangku bergulir, menatap interaksi seseorang yang sedang berkonversasi.
"Bunda! Aku mau berangkat ke kampus dulu, ya!" seorang Taruna tampan berhidung mancung sedang menuju kendaraannya. Ia bahkan sudah terduduk nyaman pada jok motor milik ia. Sesekali mematut diri pada kaca spion di hadapannya.
Wanita paruh baya yang mungkin sepantar dengan ibuku pun tergesa-gesa. Bahkan hastanya pun dipenuhi oleh barang-barang di sana. "Ini jas hujannya dipakai biar nggak kehujanan..."
Menggeleng sirah. Sang Adam menggempalkan ranumnya. "Nanti aja, Bun... belum hujan ini."
Mencubit pinggang anak lelakinya gemas. "Dibilangi bunda nggak mau nurut, hm?" tak lupa, seri muka garang terlukis pada wajah keriput sahajanya.
Rintihan pun bertawan-tawan di ujung bibir. "A-aduh iya, bun. Jangan dicubit, aku geli!" gelak tawa mengguncang dada milik si Adam. Lantas bergumam suram, "Iya-iya jasnya aku pakai..."
Selepasnya, lelaki bersemat nama Erlangga Sastranugraha itu menyalakan mesin motornya. Lantas berpamitan pada sang Ibunda.
Terakhir. "Bayu, duluan, ya!" lambaian hasta mengudara.
Aku membalasnya, beserta sarat gundah yang lekas membara. "Iya, Ngga!"
Masih terdiam, menatap kepergian sang Adam. Rupanya ada secercah batin yang ingin bergumam, tapi semua itu padam sebelum akhirnya tak bisa kugenggam.
Nusantara, bolehkah aku mendamba? Meski itu tak ada gunanya?
Kembali masuk ke rumah adalah hal yang tepat, walau itu bersarat-sarat seperti pelesat, tapi tak apa, aku menerimanya dengan lapang dada.