24. Seni Ironi

687 250 12
                                    

mari vote dan komen
aku suka banget sama
apresiasi dari kalian
semua, hihi-!

Dirgantara yang tersemat oleh wajah sang Surya, ronanya semi kuning kala menengadahkan netra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dirgantara yang tersemat oleh wajah sang Surya, ronanya semi kuning kala menengadahkan netra. Gugusan mega yang tertaut nabastala, menjadi saksi mata aku berdusta.

Aku bohong hari ini bilang ke Kak Tama sedang beli jus mangga. Sebab dua jentera yang tengah beradu pacu di luasnya adimarga, sebagai tanda atmaku meronta untuk menjemput warta sang Cinta.

Bermodalkan tekat kuat dan tutur kata, diriku pergi dari hotel Grand Surya. Menuju destinasi empat tiang satu atap milik Aditama. 

Iya, Bayu... lelaki yang sangat aku cintai itu.

“Terima kasih, ya, Pak,” ucapku usai menapak pada butala. 

Beliau tersenyum. “Sama-sama, Mbak. Jangan lupa bintang lima, ya, Mbak!” lantas kuangguki setelahnya.

Rajut langkahku mendekat ke arah pagar hitam pegam. Menatap jauh ke dalam, tapi kenapa justru sepi menyeram? Apa pemilik rumahnya sedang pergi sampai aram temaram?

Tapi aku tidak sumarah, ide dan satu bohlam lampu di atas jemala, menyiratkan bahwa ada beribu cara di sana. Lantas kuambil ponsel persegi, dan memulai panggilan pada nomor si Adi.

Sekali dua kali aku langsung mendengar. Takah-takahnya, sepetak kubikel yang berdekatan dengan pagar, berbunyi suara nyaring yang merangsek masuk ke indra pendengar. 

Berarti... Bayu sedang ada di rumahnya!

Kukira dia akan mematikan sambungan, namun hastanya kunjung mengangkat panggilan. “Halo? Ada apa Ayu?” intonasi yang pertama kali kudengar.... serak? 

Ah... mungkin dia baru saja terlelap, lalu ia terbangun sebab aku meneleponnya. Aku jadi tidak enak mengganggu bunga tidurnya...

“Aku ada di depan rumahmu...”

DUG!

Astaga, aku mendengar suara terjatuh!

Aku mendesis, seakan merasakan daksanya terguling mencium lantai sama persis.

“Hati-hati...” bibirku langsung menguntai kalimat afeksi. 

Dia tertawa, sedikit. “Ah, aku nggak jatuh, kok,” dustanya. “Sebentar ya, aku mau buka pintu.”
   

Kutunggu sang Peraga di depan rumahnya. Selepas itu, ada atma dengan langkah yang tertatih-tatih. Rupanya ia sedang berdalih. 

“Silakan masuk...”

Lantas kududukkan daksaku pada ruang tamu, lalu diberi ayat tanya oleh Bayu, “Mau minum apa?” 

Aku menggeleng. “Nggak usah, Bayu. Aku cuma sebentar aja, kok.” 

Bertanya kembali. “Kamu sedang apa berkunjung ke mari?”

Menghela gusar, aku menatap obsidiannya nanar. “Kemarin kenapa tidak menjawab teleponku?” 

[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang