21. Sorak Sorai Gerimis

827 278 41
                                    

kalian suka nggak,
aku sering update?

Sang Mentari yang tadi berada tepat di atas jemala, sedang teriknya menukik pada daksa, sepertinya sudah tak lagi ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sang Mentari yang tadi berada tepat di atas jemala, sedang teriknya menukik pada daksa, sepertinya sudah tak lagi ada. Sebab sang Penyinar Bumi entah sedang pergi ke mana. Tertutup oleh mega kelabu atas izin Sang Maha Kuasa. Bahkan titik demi setitik molekul air pun mulai bertandang tanpa aba-aba. 

Hujan. Aku sangat suka hujan! Seakan ia memberi afeksi ketenangan, ataupun aroma tanah yang melegakan. 

Seusai mengantar Bayu ke toko perhiasan, bumi pertiwi nampaknya dirundung gelegak hujan. Sedikit aneh, tadi terang benderang, namun sekarang terlungganglanggang.

“Kita berteduh dulu, ya?”

Perjalanan yang kami tempuh dengan sepeda coklat kesayangannya, menepi pada bahu adimarga. Ia mengajakku untuk sekedar berteduh, dari gemericik hebat air yang meluruh jatuh. 

Eksistensinya berubah, tak lagi menatap rahmat yang melimpahruah. “Maaf ya, kamu jadi kehujanan,” ujarnya tiba-tiba. Netra jelaganya itu menatapku tidak enak.

Aku menggeleng sirah. Meringankan perkataan, “Nggak apa-apa, Bayu. Lagipula bukan aku saja... kita berdua, ‘kan, juga kehujanan. Apalagi cuaca tidak bisa diprediksi waktunya. Tadi saja terang benderang, tapi sekarang justru hujan.”

“Aku takut... nanti kamu sakit...” ia menundukkan kepala sambil mengulum bibir.

Bahana dari kotak tawa lajak melambung, tepukan pada bahu pun lekas berkunjung. “Aku nggak pernah sakit kalau kena hujan, Bayu!” masih tertawa, menatap pemuda tampan dengan nayanika hitam tintanya.

Sempat mengerutkan kening, sepertinya ia tidak paham dengan ujaranku, paling

“Aku tebak... kamu nggak suka hujan, ya?” Takah-takahnya,  Bayu tidak suka hujan, jelas sekali pada raut wajah tampannya. Bahkan terkena setetes saja, ia sudah ingin pergi dari sana.


Sang Renjana terdiam, bibirnya pun ikut terbungkam, tak ingin  berucap atau sekedar bergumam. 

Tanpa aba-aba, hasta kekarnya pun kutarik cepat. Membuat sang Perasa sempat tercekat. “Ayu!” 

Tubuh jangkungnya sempat berkilah, menghindari luruh derai dari molekul tak terkimah. 

Diriku masih menyungging senyum, membawa tubuh jangkungnya berada di antara melodi hujan yang sempat meredum. Kalau begini, ‘kan agar Bayu sedikit maklum.

“Coba sekali-sekali kamu merasakan tetes hujan, Bayu. Rasanya menyenangkan!” aku berteriak, lantaran bahana hujan menyangkak hentak. 

Tahu tidak? Aku tadi sempat tertawa menatap ia yang dilanda kepanikan. Bahkan ia melebar tak kelar-kelar pada obsidian. Andai tidak hujan, pasti sudah kupotret rupanya dengan sarat kegembiraan.

Pada seluas adimarga, orang yang berlalu lalang pun tak menampakkan batang hidungnya. Seperti hanya ada kami berdua, di bawah rintikkan hujan yang tengah melanda, laiknya sepasang insan di novel-novel yang pernah kubaca. Di mana sang puan dan tuan, tengah bercengkerama ria dengan iringan air hujan. 


[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang