16. Pada Bait-Bait Abstrak

865 294 31
                                    

Pagi hari di ranah Kediri adalah hal yang paling menyenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi hari di ranah Kediri adalah hal yang paling menyenangkan. Baswara sang Surya sudah muncul ke permukaan, tidak lagi berada di peraduan. Melodi dari burung-burung Dara pun lekas bersahut-sahutan. Sapuan bayu yang menyayup itu, mengecup pelan kulitku. Bahkan daun-daun yang meluruh jatuh sebab ditiup angin pun, nampak sekali estetika wajah kota.

Memang Kota Tahu tiada duanya...

Pada sepetak kubikel bernuansa sederhana, aku menjepit surai hitam dengan pita. Berbenah diri sekaligus ingin berdiri. Sudah pagi, masa belum mandi? Aku lekas merajut langkah lemah, hendak berbenah dengan handuk yang bersinggah.

Selang beberapa menit usai, aku sudah selesai. Dengan balutan kaus putih dan celana joger coklat yang tengah melekat. Ah... pagi-pagi seperti ini lebih enak menyesap teh hangat yang nikmat. Segeralah tungkai kakiku melesat cepat.



Kerutan pada dahi semakin dalam, agaknya berpikir pada hari suram. Masih beberapa waktu saja, persediaan barang sudah habis tak tersisa. Apalagi perutku membahana dengan suaranya yang bersungut-sungut, nampaknya ia sedang cemberut.

Tersandar pada kubikel beraroma lavender yang arum wangi, langkahku sempat terhenti. Eh, ada apa ini? tanyaku.

"Siapa yang menelponku pagi-pagi?" untai kata terlontar dari bibirku. Terperangah mendapat panggilan di hari itu.

Aku belum mengangkat panggilannya. Masih termenung dengan bingung. Siapa nomor tidak dikenal ini?

Karena rasa penasaran terus menggebu-gebu, kuangkat saja teleponnya walau meragu.

"Halo....?"

"Diangkat juga setelah tiga kali ditelepon..." seseorang di sana menjawab sambil menghela lega.

Dengan hati-hati aku menguntai aksara, "Maaf, dengan siapa, ya?"

"Sumpah, lo nggak simpan nomor gue?!" Kernyitan pada dahi semakin tercetak jelas, bahana dari seberang sana menjawab ganas, "Ini gue! Tama, kakak lo!"

Benda balok yang tergenggam, sedikit kujauhkan dari indra pendengar, takut-takut justru bermasalah.

Apa katanya tadi? Kakak? Aku tidak salah dengar, 'kan?

Ia terus mengoceh, dengan cakap otaknya ia berkata, "Dek, kakak mohon untuk yang terakhir kalinya... kamu pulang ke rumah, ya?"



Terdiam tanpa berniat membalasnya, gelut pada tiap-tiap labirin otakku terus berencana. Aku harus apa? Memutuskan sambungannya?





Lelaki jangkung berasma Pratama yang lahirnya di kota Kembang pun berujar, "Dek, nggak kasihan sama kita yang cari kamu sampai di penghujung bumi? Kamu nggak kasihan sama Papa, Mama, terutama Oma yang sedih dengar kamu pergi dari rumah?" intonasi suaranya melemah, bersamaan denganku yang mulai sumarah.








[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang