i. Perihal Fragmen Hati

997 246 12
                                    

Raga manusia ini seperti tanpa nyawa, seperti manekin yang menapak pada butala, kehilangan semangat dan gairah hidupnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Raga manusia ini seperti tanpa nyawa, seperti manekin yang menapak pada butala, kehilangan semangat dan gairah hidupnya.

Air mata yang sudah menggenang itu, terus berbondong-bondong untuk menyerbu. Lututku menggulung pada bantala bumi, menatap maesan putih bersemat nama Bayu Renjana di hadapan kami. Semua orang yang hadir pula mengenakan pakaian gelap, sebab salah seorang anak manis satu-satunya telah melesap. Ia sudah beristirahat dengan tenang di pangkuan Tuhan... 

Pemakaman hari ini mengundang banyak iluan. Tak ada seorang pun yang terlihat bahagia, hampir semua merasakan yang sama. Kesedihan yang mendalam, serta ratapan kedua mata yang sembab. Lelaki yang memiliki bahu selebar angkasa dengan gelar aditama pun benar-benar tak lagi ada di sisi. Semestaku sudah beralih pergi tanpa mengucap pamit undur diri. 

Bayu, aku harap kita bisa bertemu lagi di surga nanti...

Kusentuh nisan putih yang tertancap tangguh di atas tanah, kuusap perlahan seakan mengelus surainya yang indah. Mengecup ujung maesan bagai menyalurkan afeksi rasa melalui batu nisan. 

“Bayu... kamu istirahat yang tenang ya, di sana... Aku tahu mungkin ini yang terbaik untukmu. Kamu lelaki yang luar biasa tulus hatinya. Lelaki pantang menyerah dan punya semangat kerja keras. Aku... beruntung bisa bertemu dengan kamu, Bayu.” suaraku parau dan terlampau serak. Kemungkinan kecil suaraku lenyap diterpa angin yang berembus pelan.

“Bayu... aku tidak menyangka pertemuan kita berakhir sesingkat ini. Padahal rasanya... seperti baru kemarin kamu memboncengku dengan sepeda coklatmu. Terasa baru kemarin kita bertukar isi hati masing-masing. Tapi... mengapa waktu cepat silih berganti? Bahkan mengingat semua yang telah kita lewati hari-hari, aku tak sanggup. Aku sungguh tak sanggup, Bayu...”

Air mataku meleleh lagi, kobaran pada dada seolah melahap habis-habisan daksaku ini. Semestaku... kau bisa melihatku dari atas sana, ‘kan? Puanmu ini sudah seperti hilang arah. Pun rapuh serapuh-rapuhnya sanubari yang telah rancu hatinya. 

Kasihku... aku tahu ini bukan yang terbaik untukku, namun ini sangatlah terbaik untuk kamu.

Kak Tama pernah berucap, mengapa seseorang yang paling baik hatinya berpulang terlebih dahulu? Sebab ketika kita berada di taman, bunga yang paling cantik akan dipetik terlebih dahulu, seakan takut bunga mekarnya terkena anca barang satu. Ia ingin melindunginya dari berbagai ancaman yang akan menghalau. Begitu pula Tuhan memanggil lelaki tulus seperti kamu, Bayu...

“Jangan menangis lagi...”

“Ayu jangan menangis lagi, ya? Sebab air mata milikmu itu berharga.”

Mengingat kalimat-kalimat Bayu pada fragmen ingatan, tangisku bukannya berhenti, justru berbondong-bondong untuk terus mengisi jejak baru di atas jejak yang telah mengering. Aku menggigit bibir kuat-kuat sebab takut menimbulkan suara. Bahkan sempat kurasa... rudira anyir pada ranumku lekas bertandang.

“Dek... kakak akan selalu ada di sisimu,” ranumnya pun bercakap. Mengelus surai yang tertutup oleh sepotong kain berwarna gelap. Menepuk punggung rapuhku yang sudah tak lagi kuat.

Mendongakkan kepala dan merajut kata-kata, “Kak... jangan berucap kakak akan selalu di sisiku dengan mudahnya. Sebab lelaki yang amat kucintai itu pernah bilang begitu. Bercakap seolah dia akan terus di sampingku kapanpun itu...”

Mengambil napas walau sempat tersendat. Senggukan isak juga ikut tersemat.

“Tapi kakak lihat sendiri, ‘kan? Pada akhirnya Bayu lah yang menyisakan kenang ilu di ruang hatiku. Aku tidak mau kakak juga akan meninggalkanku seperti Bayu...” bahanaku terlampau serak. Aku bahkan susah untuk sekedar berucap kata, lantaran terlalu banyak menangis hingga pita suaraku seperti tidak ada lagi.

   

Kini satu persatu dari keping hati tiada bisa utuh kembali. Seperti ribuan fragmen yang tak bisa disatukan lagi. Hancur lebur seperti daksa sang Taruni. Mungkin jika aku adalah debu, angin yang berembus pun bisa membuatku hilang dari butala abu. Seakan tak pernah hadir di bumi pertiwi yang mengelabu.

   

Kota Adipura beserta ombak bahala. Dan satu anak adam yang pernah kudamba yang sudah tak lagi ada.

Bayu Renjana...

a/nada yang kangen cerita ini?aku kangen banget masa :(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a/n
ada yang kangen cerita ini?
aku kangen banget masa :(

[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang