11. Ia dan Rahasianya

1.2K 376 10
                                    

Gemerlap gala bintang yang tertoreh pada kanvas di atas sana, terkelap-kelip adiwarna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gemerlap gala bintang yang tertoreh pada kanvas di atas sana, terkelap-kelip adiwarna. Hamparan payoda berwarna kelabu, terasa mengacau kalbu. 

Tidak lagi, aku benar-benar tidak sadar beranjak kemari. Pada rooftop rumah sakit Bhayangkara Kota Kediri, aku membekap rasa sepi. Aku masih ingin sendiri, meski ingin bertemu walau sekali. Maafkan aku Nindy, yang belum berani menemui.

Perihal sedu sedan yang terjadi, kini kembali lagi. Masih tidak percaya, bahwa adik manis yang masih terduduk di bangku kelas empat, menderita rasa lara. Penyakit itu menyerang kembali, meski dulu dinyatakan hirap, tak menutup kemungkinan bertandang kemari. 


Terduduk pada beton rooftop, netra jelaga menengadah pada angkasa. Menatap gemintang yang nampak mengerlap, dengan tatapan berkaca-kaca. Sedikit menampilkan gurat kurva, entah untuk siapa.


Kutekuk kedua kaki jenjang milikku, serta kedua tangan yang membekap raga ini, sendiri.

“Tuhan, mengapa Engkau memberi ujian seberat ini untuk Anindya? Mengapa Tuhan? Perihal hirap rasa lara yang dideritanya dahulu, aku sudah senang kepalang. Lantas mengapa, kau hadirkan kembali untuknya?”

Masih dalam posisi sama, berhadapan pada redumnya jumantara pusat Kota.

“Seandainya aku tidak memaksanya untuk ada, mungkin ia tak akan mendapat imbasnya sekarang,” aku bergumam kembali, beserta bulir kesedihan yang lagi-lagi mengalir dengan derasnya. Tidak sanggup, aku sungguh tidak sanggup melihat mentariku redup.

“Tuhan, mengapa aku sangat egois? Mengapa, Tuhan? Aku benci sisi ego yang lagi-lagi muncul. Aku sungguh...” aku tidak bisa melanjutkan penggal demi penggal kata. Terlalu menyakitkan untuk bercerita tentang ia, perihal jiwa dan raga.

“Lantas, aku harus bagaimana?” pertanyaan itu menguap begitu saja. Sedang seorang hamba yang tengah merutuk diri, lantas meringkuk dalam dekapan sepi. Masih gelebah, memikirkan hendak berbuat apa tanpa kata-kata, dengan rangkaian rasa bersalah. 

   

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   

“Mas Bayuuu! Nindy kangen!”

   

Baru saja membuka daun pintu, aku disambut antusias oleh sang Dahayu. Lihatlah, betapa bahagianya ia melihatku bertandang kemari, serta kedua tangannya yang terangkat hendak memeluk raga ini. 

   

“Mas! Nindy kangen bangeet! Mas Bayu kemana aja?” ocehnya gemas, usai memelukku erat tak ingin terlepas.

   

Tersenyum tipis menatap kedua jelaganya yang tampak berbinar-binar. Aksa bulatnya itu seperti terpantul gala bintang di pelataran awang-awang. “Mas Bayu nggak kemana-mana, kok. Tadi barusan ke kamar mandi sebentar,” dustaku.

   

Bibir mungilnya membulat. Ia terangguk paham selepasnya. “Oh ya, Mas! Aku kemarin mimpi, loh!” ujarnya tiba-tiba.

   

Aku yang baru saja terduduk pada kursi, memusatkan atensi kembali. Menatapnya penuh konstelasi aksara, ingin tahu apa yang dialaminya. “Wah, mimpi apa, tuh?” tanyaku ingin tahu.

   
Ia tersenyum jahil dan terkikik gemas usai menatapku yang penuh tanda tanya. Membuat diriku semakin bingung akan ia. Tak lupa dengan kerutan yang semakin dalam, tercetak pada keningku. “Kenapa?” tanyaku kembali.

   

Sang Dayita terbahak barang sejenak. Bahana yang menguar dalam kubikel beraroma sanitasi, tampak seperti hidup kembali. Ah... mentariku sudah menampakkan sinarnya lagi.

   

Dengan balutan kain rumah sakit, serta suspensi bening yang masih mengerat, ia bertutur kembali, “Kemarin pas aku lagi tidur, tiba-tiba ada orang yang meluk aku erat banget. Pelukannya itu, bisa bikin Nindy tenang dan aman gitu...”

   

Aku masih sigap mendengar celotehannya. Sedang dibalik diamnya seorang Bayu Renjana, ada hati yang semakin terluka. Diam-diam aku menahan isakan.

   

“Tau nggak, Mas? Pas aku lagi tidur, dia cium kening sambil bilang selamat ulang tahun ke aku!” tuturnya senang. Bahkan garis wajahnya berubah menjadi lebih riang. “Aku seneng banget, Mas, diucapin selamat ulang tahun sama dia. Baik banget sampai ngucapin ke aku segala...”

   

Gurat tipis terpampang sekali lagi pada bibirku.

   

Ia beralih atensi. Kepalanya tertoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang sedang dicari.

   

“Mas aku ada sesuatu... jangan kaget, ya?” ucap Nindy kepadaku.

Ia memperlihatkan sebuah kotak sembari tersenyum lebar. “Di sebelah Nindy ada hadiah, Mas. Tapi aku enggak tau kotak ini dari siapa. Ibu juga nggak mau jawab,” lanjutnya, seraya membuka kotak tersebut. 



“Isinya... pensil warna yang aku pengenin dari dulu! Bagus banget hadiahnya, Mas, aku suka banget!” ia tiba-tiba memelukku erat. Menumpahruahkan kebahagiannya yang melimpah itu, dalam sebuah dekapan hangat.

 






“Tapi... dia kok tahu ulang tahunku, ya, Mas? Kira-kira dia siapa, ya?” ia bertanya, masih dalam posisi sama seperti sebelumnya.







“Ah itu nggak penting, Mas. Intinya aku udah bahagia walau enggak tau siapa dia.” Nindy menularkan afeksi positifnya. Ia tersenyum lagi, hingga menampakkan kedua garis pada netra indahnya.






Tes...






Runtuh sudah pertahananku. 






Melihat kegembiraan pada seorang Anindya, gejolak isak tak mampu bertahan. Ada secelah asa untuk tetap tenang, namun hati tak pandai menghalang. Sebab emosi dalam balutan sedu sedan, tak bisa ditahan. Biarkan luruh, bersama buncah rusuh kalbu yang terus bergemuruh.



 Biarkan luruh, bersama buncah rusuh kalbu yang terus bergemuruh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔] i. Kediri | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang