E M P A T B E L A S

36.1K 7.7K 357
                                    

Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, dia pergi ke kamarnya dan meninggalkanku dengan tanda tanya besar di kepalaku. Sungguh, aku tidak paham sama sekali dengan ucapannya yang melarangku untuk pulang ke rumah.

Tapi ya bodoh amatlah, aku mau tidur saja dulu. Kakiku melangkah menuju tangga dan berniat untuk menaiki tangga tersebut, namun baru saja satu anak tangga yang kunaiki, tiba-tiba suara gedoran kencang di pintu rumah langsung terdengar.

Hm, sepertinya ibu dan ayah angkat Romeo sedang tidak berada di rumah saat ini. Karena itu aku yang dengan sukarela akan turun lagi untuk membukakan pintu. Tanganku menarik gagang pintu rumah yang kemudian menampilkan gerombolan warga dengan seorang anak yang baru saja kehilangan jari telunjuknya satu jam lalu.

"Mana Romeo!" teriak wanita paruh baya yang sedang memeluk erat anaknya itu. "Bawa dia keluar! Aku harus meminta pertanggungjawaban darinya atas masalah anakku yang kehilangan jari telunjuknya ini!"

"Permisi, tapi bisa saya minta tolong agar bibi dan paman menceritakan apa yang di ceritakan oleh anak-anak ini kepada bibi dan paman sekalian?" tanyaku. Mereka sontak menelan ludah mereka saat mendengar ucapanku itu.

"Mereka bilang Romeo yang sudah membuat anak saya seperti ini, mereka juga bilang kalau jari telunjuk anak saya dipotong Romeo dengan menggunakan sebuah pedang yang sangat tajam!" marahnya.

"Apa bibi ingin lihat pedang tajam macam apa yang dikatakan oleh anak-anak ini kepada bibi?" Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya, dan aku langsung berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebilah pedang kayu yang biasa digunakan oleh Ainsley dan Romeo untuk berlatih.

"Ini dia," ucapku sambil menyodorkan pedang tersebut. "Selain itu bi, apa mereka juga ada menceritakan apa yang terjadi hingga membuat Romeo sampai memotong jari telunjuk anak bibi itu?"

Wanita paruh baya itu mengambil pedang kayu yang kusodorkan tadi kemudian menatapnya lama dengan dahi yang berkerut kencang. Tak lama kemudian ia kembali menatapku dan melirik sesekali kearah anak-anak yang memberikan dirinya informasi.

"Ti-Tidak ada, me-memangnya apa yang terjadi sampai-sampai Romeo memiliki keinginan untuk memutuskan jari telunjuk anakku ini hah?" ucapnya. Aku mengangkat sudut bibirku sambil menatap kearah anak-anak yangs sedang menatapku dengan tatapan ketakutan.

"Jadi..." Aku menggantungkan kata-kataku sambil menatap ekatah anak-anak itu. "...kuberi kalian kesempatan untuk menceritakan sendiri, sekarang terserah kalian mau menceritakannya, atau aku saja yang menceritakannya di depan semua orang."

"Ka-Kami akan menceritakannya sendiri!"

Setelah anak-anak itu selesai menceritakan cerita sebenarnya, ekspresi wajah para warga disini tampak sangat tidak enak. Bukan tidak enak padaku, tapi mereka tidak enak karena gagal menemukan alasan untuk mengusir Romeo dari desa ini. Jujur saja entah berapa banyak orang disini yang tidak menyukai Romeo namun berpura-pura menyukainya.

"Ta-Tapi tetap saja Romeo melukai tangan anakku! Dia bahkan akan menjadi orang cacat karena tidak memiliki jari telunjuk!" ucap wanita itu yang masih tidak terima dengan kenyataannya. Hm, dasar kok emang, kalau sudah ngomong sama orang seperti ini mah harus dikerasin baru paham.

"Baik, kalian boleh saja menghukum Romeo," ucapku sambil melipat tangan di depan dada. "Tapi karena yang salah di sini bukan hanya Romeo melainkan gerombolan anak itu, artinya mereka juga harus dihukum bersama Romeo, bagaimana? Bibi setuju?"

Dalam sekejap, wajah para wanita lainnya yang kuyakini adalah ibu dari anak-anak itu langsung tampak takut. Mereka segera memeluk anak mereka sambil menatap kearah wanita paruh baya yang masih ngotot ingin menghukum Romeo seorang. Ahahaha, kalian terlalu meremehkan anak perempuan ini wahai ibu-ibu sekalian.

Ya, karena mau bagaimanapun usia mentalku sudah tua sih, jadi yang seperti ini mudah saja bagiku untuk melawan tindakan tak bermoral seperti ini. Tapi aku tetap sedih kalau mengingat usiaku yang sudah tua, hiks.

"Se-Sebaiknya kita lu-lupakan saja masalah ini," ucap ibu dari salah satu anak itu. "La-Lagi pula dengan begini masing-masing sudah impas, jadi sebaiknya kita jangan mencari masalah lagi."

"Lalu bagaimana dengan anakku yang kehilangan jarinya!"

"Ya itu salah anakmu! Dia yang mengajak anak-anak kita untuk ikut tergabung dalam merundung Romeo! Kalau saja anakmu itu tak menghasut anak-anak kami maka dia tidak akan mengalami hal seperti ini!" balas ibu lainnya.

Dan...

Yap, mereka bertengkar satu sama lain. Ah sudahlah ribet sekali, mending aku masuk kedalam rumah dan menutup pintu sajalah dari pada merepotkan diri dalam keributan ini. Sampai jumpa ibu-ibu sekalian, semoga kalian menikmati acara berdebat ini.

Tapi parah sekali orang-orang di desa yang katanya damai ini, mereka semua tidak terlihat seperti orang baik melainkan seperti pemeran antagonis yang rela mengkhianati orang lain. Aku yang penulisnya pun sampai bingung dengan kehidupan diluar alur cerita.

Mataku menatap kearah Ainsley yang tampak mengusap matanya karena keributan di luar. Pria itu menatap lama ke arahku dengan mata sayu kemudian bertanya, "Ada ribut-ribut apa diluar?"

"Hm, tidak ada apa-apa, hanya sedikit pertengkaran antar warga," sahutku singkat sambil berjalan ke arah sofa, dan duduk di sana. "Tidurlah lagi, kau tampak sangat kelelahan."

"Ya, maafkan aku karena ketiduran tadi, dan kau juga beristirahatlah sana, biar aku yang mengurus rumah ini selagi paman dan bibi berada di luar," ucapnya yang kemudian bangkit berdiri dan mendorongku untuk berbaring di atas sofa tempat ia tidur tadi.

Aku terkekeh pelan saat mendapatkan perlakuannya itu. Satu bulan bersama di desa ini membuat kami menjadi teman baik, dan Ainsley pun tampak semakin nyaman saat bersamaku, tidak seperti dulu yang kakunya nyaris setara dengan kayu jati, cih.

"Tumben perhatian sekarang, padahal dulu kau tidak peduli sama sekali denganku," ketusku sambil berbaring di atas sofa dan menatap Ainsley yang sedang duduk di sofa lainnya.

Pria itu melirik kecil ke arahku, dan tak lama sudut bibirnya terangkat. Wow! Ini pertama kalinya bagiku untuk melihat senyumannya itu, entah dia kesambet apa sampai-sampai tersenyum seperti itu.

Belum lagi level ketampanannya meningkat drastis, ukh!

"Aku adalah pengawal pribadimu, jadi wajar saja kalau seorang pengawal mempedulikan majikannya bukan?"

"Heh, dulu kau bahkan berkata seperti ini padaku 'jangan harap aku akan menyukaimu' begitu, dan sekarang kau mengakui dirimu sebagai pengawal pribadiku?"

"Iya-iya kau menang melawanku nona cantik, sekarang tidurlah."

Aku terkekeh geli mendengar pujian yang lebih menjerumus ke arah sebuah sindiran itu. "Baiklah, selamat tidur, tuan tampan."

=====

Jiah, jangan oleh ke dia yaw...

Btw, kalo adegan ini ada behind the scene-nya.

Romeo be like:

Hareudang~
hareudang~
hareudang~

Panas🔥panas🔥panas 🔥

Udah deng, capek garain Romeo terus wkwkwk, serem.

Terima kasih banyak buat kalian yang meluangkan waktu untuk membaca cerita ini, kalau ada salah kepenulisan mungkin boleh minta koreksinya, jangan lupa vote dan commentnya yaa...

Sampai jumpa!

Romeo, Take Me! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang