D U A B E L A S

37.2K 7.4K 911
                                    

"Kau tidak sedang menipuku kan?"

Ukh! Kok dia bisa tahu sih, bagaimana caranya? Ah, tidaklah, mungkin dia hanya menebak saja. "Ekhem," dehamku pelan. "Te-Tentu saja tidak! Bagaimana bisa kau meragukan gurumu hah? Apa kau tak tahu peraturan dalam kelasku ini?"

Romeo menggelengkan kepalanya.

"Baik, kalau begitu biar aku beritahu peraturannya. Pertama! Guru selalu benar, jadi jangan pernah kau meragukanku yang merupakan gurumu ini! Dan kedua, jangan banyak tanya, karena belum tentu aku bisa menjawabnya. Sudah itu saja, sekian."

"Hah? Peraturan gila macam apa yang kau ucapkan barusan? Apa kau bersungguh-sungguh dengan peraturan anehmu itu? Kurasa kau sudah gila," hinanya.

Loh, apa yang salah dengan peraturan tadi? Aku sudah mengatakan semua peraturannya dengan benar kok, dan lagian hanya ada dua peraturan saja jadi ya mudah saja. "Sudahlah, tak usah banyak komentar oke, mari kita mulai kelas sopan santunmu!"

"Sebentar-sebentar," sela Romeo sambil mengangkat tangannya. "Kalau begitu, aku bangsat, artinya aku pintar gitu?"

"Iya, kau bangsat sekali."

"Tapi karena di sini kau yang mengajar dan menjadi guruku, itu artinya kau jauh lebih bangsat di bandingkan aku?"

Hahaha, sial. Kok tiba-tiba aku jadi menyesal karena sudah membodohinya tadi? Dengan begitu tidak relanya, aku hanya bisa tersenyum miris dan menjawab...

"Iya, aku lebih bangsat dari kau."

Duh, mo nangis deh rasanya...

=====

Hari terus berjalan, hingga tak terasa kalau satu bulan sudah berlalu semenjak hari dimana aku menapakkan kakiku untuk yang pertama kalinya di desa ini. Dan sekarang, aku merasa sudah jauh lebih familiar dengan desa ini.

Romeo memang masih sangat dingin dan kurang ajar kepadaku, tapi dia mulai jarang melawanku seperti dulu. Mungkin itu karena dia sudah terbiasa sekarang, karena itu Romeo selalu mengikuti pembelajaran tanpa terlewat satu hari pun.

Mataku memandang sosok Ainsley yang sedang mengajarkan Romeo ilmu berpedang. Jika diperhatikan, mereka berdua tampaknya seumuran. Eum, kurasa mereka berada diusia sekitaran lima belas tahun jika dilihat dari bentuk fisiknya.

Mataku memandang lama kearah mereka. Inilah yang dinamakan 'gabut'. Aku bingung mau ngapain sekarang, yang bisa kulakukan hanya duduk di sini sambil memandangi mereka berdua. Kurasa aku harus pergi jalan-jalan seben—.

"Valerie kau perhatikan latihan Romeo dulu sekejap! Aku ingin pergi mengambil air dan mencari handuk bersih, jadi kau perhatikan dulu latihannya sampai aku kembali nanti."

Astaga pak, giliran aku nemu kegiatan buat dilakuin dia malah ngasih kegiatan. Giliran aku tak ada kerjaan, dia tak memberiku kerjaan apa-apa, maunya apa sih?

Aku menghela nafas berat kemudian berjalan menghampiri mereka berdua. "Ya, aku akan membantumu memperhatikannya, sudah kau cepat pergi sana," ketusku. Ainsley menyodorkan pedang kayunya kepadaku, baru kemudian ia berlari pergi meninggalkanku bersama dengan Romeo yang masih asik berlatih.

Aku menghela nafas kemudian memilih untuk duduk di atas padang rumput sambil menonton Romeo yang sedang berlatih. Lumayanlah, asupan, kapan lagi gitu ya kan melihat anak tampan yang sedang berlari pedang. Aku menekuk kakiku, dan ingin dud—.

"HEI ROMEO! UNTUK APA KAU BERLATIH PEDANG HEH, ANAK TIDAK JELAS SEPERTIMU UNTUK APA BELAJAR!"

Ukh, tampaknya urat-urat dahiku tercetak dengan sangat jelas saat ini. Aku memejamkan mataku sambil mengepalkan tangan erat-erat, tabah lah Valerie, tidak baik marah-marah dengan segerombolan anak kecil tak tahu diri seperti mereka itu.

"Romeo, kudengar kau mendapatkan guru sukarela, heh. Anak yang tak jelas asal usulnya sepertimu untuk apa memiliki guru? Sangat tidak berguna sekali, cih."

Ahai, otakku mau meledak kawan-kawan, andai saja aku tidak punya pengendalian diri yang baik maka jelas sekali mulut anak itu sudah kurobek satu-satu. Tapi karena aku anak baik, jadi aku masih mencoba menahan emosi saja dulu untuk saat ini.

"Lihat, apa gurumu seorang anak kecil yang bahkan lebih muda darimu? Astaga! Ternyata gurunya abal-abal toh, tapi tak apa sih dia cukup cantik, dan rambut merahnya itu sangat langka!"

"Hei anak kecil, kau sebaiknya diam sebelum aku mencabik-cabik mulutmu." Persetan dengan pengendalian diri. Aku sudah tak dapat menahan semua ini. "Lanjutkan ucapanmu tadi," kecamku.

"Hei, ngapain sih kau memilih untuk mengajari anak yang tak jelas asal-usulnya seperti Romeo itu, lihatlah disini masih ada banyak anak-anak lain yang bisa kau ajari selain dia," ucap salah seorang anak dari gerombolan tersebut.

"Ya suka-sukaku dong, kalau aku maunya mengajar dia lalu kenapa hah? Lagi pula biar kuberi tahu pada kalian kalau mataku ini bisa melihat yang mana 'sampah' dan yang mana 'emas'. Tidak mungkin ada orang di dunia ini yang kau mengajar 'sampah' kau mengerti?"

"Hei kalian dengar? Dia bilang kita adalah sampah dan Romeo adalah emas! Mungkin otak gadis ini memang sudah meninggalkan tempatnya ya!" timpal anak lainnya. Nak, sebaiknya kalian berhenti memancing emosiku deh.

Sudahlah, aku tidak bisa mentolerir anak seperti mereka. "Iya, baguslah kalau kalian sadar kalau kalian adalah sampahnya, dan Romeo adalah emasnya. Sekarang sebaiknya kalian pergi dan jangan ganggu muridku lagi."

"Astaga, mulutmu itu pedas juga untuk ukuran seorang gadis ya. Tapi tidak apa sih, kau terlihat semakin cantik saat sedang marah seperti ini, aku jadi ingin menyentuh kulit putih mulusmu itu."

Anak itu mengangkat tangannya, dan berniat untuk menyentuh kulit pipiku dengan tangannya. Si sialan ini minta di tampar kok emang. Aku mengangkat tanganku, dan bersiap-siap untuk menampar orang kurang ajar itu. Namun siapa sangka kalau ternyata seseorang sudah mendahului perbuatanku. Aku menatap kearah sebilah pedang kayu yang sudah berada tepat di depan wajah anak itu.

"Kau sentuh barang sedikit saja kulitnya, maka aku akan memotong bagian tubuhmu yang menyentuhnya."

Tunggu-tunggu, ini suara Romeo? Dia sedang membelaku saat ini? Astaga mimpi apa aku semalam sampai-sampai dia membelaku di saat seperti ini. Padahal aku mengira kalau dia akan peduli amat denganku, namun tampaknya pemikiranku itu salah besar.

"Hm, ini hanya sebuah pedang kayu, apa yang bisa kau lakukan dengan sebuah pedang kayu dasar Romeo, pintarlah sedikit," sahut anak itu yang kemudian mengabaikan ancaman Romeo dengan menyentuh kulit pipiku dengan jari telunjuknya.

Astaga ini anak benar-benar minta kuhajar! Tanganku sontak bergerak untuk mencekik leher tersebut, namun tanganku tiba-tiba berhenti bergerak, tidak, bukan berhenti, yang benar adalah aku sangat kaget hingga seluruh tubuhku membeku saat ini.

Tolong katakan kalau sepasang mataku ini salah lihat saat mendapati sekelebat bayangan cokelat melewati pandangan mataku dengan begitu gesit. Belum lagi rasa basah di kulit pipiku, jangan bilang kalau...

"Hm, aku sudah memperingatimu."

"ARGHHH! JARIKU!"

=====

Halo gais, hari ini aku ada pengumuman kalau mulai besok, jadwal update semua ceritaku akan berganti menjadi siang hari alias seusai aku selesai daring.

Aku kan biasanya kalau update suka pagi tuh, nah mulai besok aku updatenya bakal siang karena pembelajaran daringku itu pagi dan kadang aku suka kesulitan membagi waktu bangun, update, sekolah.

Ya gitu deng, tapi untuk hari update ya tetap setiap hari kok...

Terima kasih banyak buat kalian yang meluangkan waktu untuk membaca cerita ini, kalau ada salah kepenulisan mungkin boleh minta koreksinya, jangan lupa vote dan commentnya yaa...

Sampai jumpa!

Romeo, Take Me! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang