Chapter 17

1.3K 105 4
                                    

Aleena menenteng tasnya memasuki rumahnya dengan wajah lesu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aleena menenteng tasnya memasuki rumahnya dengan wajah lesu. Luka di sudut bibirnya masih terasa dan kepalanya berdenyut. Mungkin karena perkelahiannya tadi dengan anak osis. Siapa suruh mereka cepu. Berani-beraninya dia melaporkan Zara ke Miss Ros. Zara teman yang sering dia ajak bolos. Akibatnya cewe itu kena skors 2 hari karena kedapatan merokok di gudang. Sial! Aleena kan tidak punya teman bolos selain Zara. Kalau Rebeca jarang-jarang cewek itu mau ikut bolos bersama Aleena. Tapi sekalinya bolos tidak akan tanggung-tanggung sampai seharian full tidak masuk kelas.

Kakinya baru saja memasuki ruang tengah, ada Jovanka yang duduk di sofa sambil membaca koran. Aleena membuang pandangnnya. Aleena malas menghadapi Jovanka. Dia memang butuh sosok Ayah. Tapi Aleena sudah membenci pria itu. Benci sampai dia sendiri malas bertemu dengannya.

"Aleena." Jovanka memanggilnya membuat langkah Aleena terpaksa berhenti dan berbalik pada Jovanka.

"Kenapa lagi bibir kamu? Abis berantem lagi?" Jovanka berjalan mendekati Aleena dengan raut wajah menyeramkan. Meniliti wajah Aleena.

"Iya. Kenapa?" terselip nada menantang dalam kalimatnya membuat Jovanka langsung naik pitam.

"Ngga sopan kamu! Kalau di tanya, jawab baik-baik! Jangan kayak anak-ngga di sekolahin mulutnya."

"Terus?" sudah dibilang, Aleena malas meladeni amarah Jovanka. Hari ini sudah cukup membuatnya kelelahan.

"ALEENA!" Jovanka berteriak menyentak. "Jawab yang bener. Kapan kamu berubah? Mau sampai kapan kamu kekanakan begini? Berantem terus, bolos, cari masalah! Mau sampai kapan kamu nyusahin saya?!"

Ini yang Aleena tidak suka. Pembicaraan ini akan semakin panjang dan berlanjut. Aleena tidak mau mendengar kata-kata menyakitkan yang di keluarkan Jovanka.

"JAWAB! JANGAN DI LUAR AJA KAMU BERANINYA!" Jovanka berang menatap anak perempuannya.

"Kalau Aleena ngga nakal kayak gini, emang Papa mau ketemu Aleena? Apa pernah kita ngomong panjang lebar kalau Aleena ngga buat masalah? Papa jarang pulang, sekalinya pulang cuma mau ketemu bang Aleen. Pernah Papa ada niat ketemu Aleena? Ngga ada Pa!"

Aleena berani membalas tatapan tajam Jovanka. Menatapnya dengan perasaan campur aduk. Namun didominasi rindu dan kecewa yang bisa Jovanka rasakan sebagai seoranf ayah.

Tatapan kecewanya membuat Jovanka beringsut mundur. Yang dikatakan Aleena benar, dia tidak pernah ingin pulang ke rumah kalau bukan karena Aleen. Hanya Aleen alasannya ke rumah ini. Dia sama sekali tidak berniat datang untuk Aleena. Tidak pernah.

"Papa selalu marahin Aleena. Nyuruh Aleena berhenti nakal, salahin Aleena terus karena kurang ajar. Tapi Papa ngga pernah sadar kalau yang buat Aleena kayak gini itu Papa! SAYA KURANG AJAR KARENA PAPA SAYA NGGA PERNAH AJARIN SAYA!" Aleena meneriaki Papanya sendiri. Napasnya memburu seiring wajah yang menahan amarah besar.

"Mgomong apa kamu?! Dengan saya sekolahkan kamu harusnya kamu bisa belajar di sana."

"Papa emang ngga pernah ngerti sama Aleena. Aleena iri sama temen-temen Aleena yang dianter ke sekolah sama Papanya. Kenapa Papa ngga pernah kayak gitu?" tatapan menuntut dari mata Aleena membuat hati Jovanka serasa berdesir.

ANOMALYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang