33 - Pangeran Kucing

249 53 10
                                    

Hay yo pakabar? :)

Update lagi nih ceritanya
Seperti biasa aku lama ya update nya hehe maafin ya👉👈

Jangan lupa vote dan komentar

Happy reading!🐱

🐈🐈🐈

Gara-gara mengajari Iqbaal kemarin (Namakamu) sampai lupa ada kuis hari ini. Kalau kuisnya yang diajarkan kepada Iqbaal ya masih mending, lah ini jauh sekali. (Namakamu) hanya bisa pasrah saja bagaimana nanti nasib nilainya.

"(Namakamu) yuhuu!" teriak Steffi baru datang dan tanpa Bella.

"Gak usah teriak ini kelas bukan hutan," kata (Namakamu) pusing.

Steffi nyengir lalu duduk di sebelah (Namakamu). "Oke-oke, eh Bella gak masuk katanya izin."

"Izin kemana?"

"Gak tau, mungkin liburan kali. Oh iya, kuisnya gak jadi juga lho, (Nam)." lanjut Steffi.

(Namakamu) berubah antusias. "Beneran?"

"Iya gurunya cuti." jawab Steffi dengan santainya.

"Kok Lo bisa tau, Stef?" tanya (Namakamu) perasaan tidak ada info apapun menghampirinya.

"Tau dong, yuk kantin daripada di kelas gak ada orang." Steffi menarik (Namakamu) berjalan ke kantin dan dengan senang hati (Namakamu) ikut saja.

***

Alwan sedang berkeliling di sekitar istana menemukan sang ibu sedang menatapnya tajam.

"Kenapa kamu menyuruh Iqbaal datang ke sini menemui ibu?" tanya Rinke meminta penjelasan.

"Iqbaal sudah berubah, kenapa ibu tidak juga mau memaafkannya?"  Alwan menjawab.

"Kamu diam saja, jangan melakukan apapun lagi kalau melanggar ibu akan mengurungmu seperti ayahmu.". peringat Rinke tak main-main.

Alwan menghela napas panjang usahanya memperbaiki hubungan Ibu dan Iqbaal tak juga bisa terwujud. Memang waktu itu yang datang ke rumah pohon memang bukan benar-benar Ayah Henri melainkan dirinya yang menyamar. Alwan terpaksa melakukannya sebab tak tahu bagaimana cara apa yang bisa membuat Ibu dan Iqbaal kembali berbaikan. Minimal Ibu mau menganggap Iqbaal dan memperlakukannya seperti putranya sendiri. Namun sekarang, Alwan hanya bisa berdoa semoga Iqbaal bisa menyelesaikan tugas dua hari itu dan dirinya terpaksa tak membantu daripada membuat situasi makin kacau.

Iqbaal sedang menyiram bunga yang (Namakamu) titipkan. Banyak sekali peringatan-peringatan keluar dari mulut (Namakamu) agar Iqbaal menjaga bunga itu dengan baik. Siram yang benar dengan air yang bersih, pakai pupuk kualitas super lalu simpan di bawah sinar matahari tapi jangan di jemur. Iqbaal hanya bisa mengangguk saja seperti diceramahi emak-emak yang anaknya harus melakukan hal terbaik.

"Iqbaal!" (Namakamu) masih memakai seragamnya sambil membawa plastik makanan di tangannya.

"Kamu sudah pulang?" bingung Iqbaal.

(Namakamu) mengangguk kecil memberikan bingkisan makanan ke tangan Iqbaal. "Iya, ini gue bawain makanan." (Namakamu) menggeser Iqbaal, "bunganya jangan dijemur ih!" protesnya.

"Ini tidak di jemur kata kamu bunganya harus terkena sinar matahari kan?" jawab Iqbaal merasa melaksanakan instruksi yang diberikan dengan benar.

(Namakamu) menoleh. "Iqbaal ini siang bukan pagi. Lo mau bikin bunganya mati? sana makan aja biar gue yang urus bunga ini." lalu mendorong Iqbaal supaya masuk ke dalam rumah saja.

Iqbaal menurut masuk ke dalam rumah untuk makan sedangkan (Namakamu) memperhatikan bunga dengan seksama dan sangat takjub ketika bunga itu makin bersinar saja. Tanpa ia sadari tangannya menyentuh satu kelopak bunga dan melemparnya pada sebuah ingatan bunga jatuh lalu anak laki-laki membersihkan bunga itu sehingga ditanam seperti semula selanjutnya sang ibu datang langsung mengusirnya. (Namakamu) kembali tersadar lalu mengerjap perlahan ingatan tadi bukan dirinya dan itu berlatar di kerajaan. Apa mungkin... Iqbaal?

Selama ini ibunya Iqbaal marah karena sebuah bunga yang ia tanam sekarang ini. Ayolah! bunga kan banyak tapi marahnya sudah seperti kehilangan sesuatu yang berharga saja. Baiklah, sudah (Namakamu) putuskan nanti malam setelah Iqbaal tidur ia akan pergi ke istana kemudian memberikan bunga ini pada ibu Iqbaal.

"Sudah menyiramnya?" tanya Iqbaal begitu (Namakamu) masuk.

(Namakamu) hanya mengangguk kemudian merebahkan tubuhnya di sofa.

"Kamu tidak pulang?" tanya Iqbaal lagi karena biasanya (Namakamu) rusuh akan pulang setelah mengunjunginya.

"Berisik! ini kan rumah gue juga, jadi pulang kemana pun sesuka hati gue." kesal (Namakamu).

"Iya saya kan cuma nanya," ujar Iqbaal lalu diam tak mau membuat (Namakamu) marah-marah lagi.

"Baal!"

"Kenapa?" tanya Iqbaal.

"Mau ikut gue gak?" (Namakamu) menggeser duduknya membuat Iqbaal merasa ada yang tidak beres.

"Kemana?"

"Kerajaan Gandara."

"(Namakamu)!" Iqbaal memperingatkan.

"Iya-iya becanda, gue capek mau tidur. awas jangan gangguin!" kata (Namakamu) pindah tempat duduk.

Iqbaal mengangguk dan tak lama dirinya juga tertidur sementara (Namakamu) membuka sedikit matanya memastikan Iqbaal tidur atau tidak? ternyata sudah. Kesempatan ini ia jadikan untuk pergi ke istana kerajaan.

"Doain gue ya Iqbaal, semoga lo bisa baikan lagi sama ibu lo." ujar (Namakamu) membelai rambut Iqbaal gemas lalu beranjak.

(Namakamu) berjalan mengendap-endap ke pintu belakang. Setelah menarik napas dalam-dalam ia membuka pintu selanjutnya sampai di depan kerajaan yang sama sekali tidak ada perdamaian yang ada hanya perdebatan, pertikaian bahkan pem– ah (Namakamu) tidak lihat lagi pakai kacamata hitam. Beberapa kali berpapasan dengan orang istana (Namakamu) cepat-cepat mencari tempat persembunyian.

"Kamarnya yang mana sih?" (Namakamu) masih kebingungan dimana letak kamar sang ratu. "Kursi yang itu iya bener kayaknya."

(Namakamu) dengan tergesa masuk ke dalam dan suara deheman seseorang membuatnya terkejut bukan main ternyata ibu Iqbaal persis muncul di ingatan (Namakamu) namun sekarang muncul dan berdiri penuh selidik kepadanya.

"Ratu ini bunga yang ratu maksud?" (Namakamu) menyimpan bunga di atas meja.

"Kamu siapa? bunga ini darimana?" tanya Rinke senang sekaligus terkejut bunganya kembali.

"Saya (Namakamu) temannya Iqbaal," jawab Namakamu sopan.

"Berani-beraninya kamu datang!" Rinke berkata dengan nada tinggi.

"Saya cuma–"

"PERGII?!" Rinke mengusir ada raut tidak suka di matanya.

(Namakamu) keluar dan menggerutu di sepanjang jalan kemudian tak melihat seseorang di depannya sedang lewat hingga terjadi tubrukan yang tak terelakkan.

"(Namakamu)!" Alwan buru-buru berdiri membantu (Namakamu) yang tersungkur.

"Ih Alwan kok lo nabrak gue sih?" (Namakamu) menepuk-nepuk bajunya yang kotor.

"Maaf (Nam)! kamu darimana bisa sampai ada di kerajaan?" tanyanya.

(Namakamu) gelagapan. "Dari jalan maksud guu–aku jalan-jalan iya jalan-jalan." lalu tersenyum aneh menutupi kegugupannya.

"Kenapa tidak mengajak Iqbaal?" tanya Alwan lagi.

"Dia tidur jadi aku sendirian aja. Maaf aku buru-buru, bye!" (Namakamu) menjawab lalu berlari kecil menuju pintu keluar.

(Namakamu) kenapa bisa sampai disini? batin Alwan memperhatikan (Namakamu) sudah menghilang dari pandangannya.

Pangeran Kucing [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang