BAB 29. Sebuah pesan CHAT

92 17 4
                                    

"Jangan mi! Lebih baik aku dibawa bigfoot ini dari pada gitar kesayanganku rusak!" kata Nayan sambil melambai lambaikan tangan kearah ibu.

"Siapa kamu!" kata ayahku yang sudah emosi.

      Suasana pun menjadi hening, bigfoot itu pun duduk dikursi yang berada didepan kami, berada didekat ruang keluarga kami, tepat dimana Nayan tadi duduk. Bahkan bigfoot itu berani mengambil permen kesukaan Nayan.

     Kami semua terkejut atas kata kata mbok Ratih, saat mbok Ratih membawa bubur ayamnya Nayan kedalam dimana kami semua berada. Mbok Ratih tidak takut sama sekali dengan bigfoot itu, bahkan ia berani meletakkan mangkok berisi bubur ayam itu keatas meja dekat bigfoot itu.

"Awas mbok entar mbok ditangkap sama tu bigfoot!" seru ibuku yang sudah terdiam tanpa bergerak sedikit pum sambik melirik bigfoot itu dari tadi.

 "Besar banget nyali mbok Ratih! Bahkan tidak ketakutan sama sekali" kata Nayan sambil bertepuk  tangan 2 kali dengan lembut.

 "Kenapa mbok nggak takut?" kata ayahku yang melihat mbok Ratih berdiam diri dekat bigfoot itu duduk.

"Kan ini den Hasan tuan!" kata mbok Ratih sambil memegang erat nampan plastik yang berwarna hitam itu dengan wajah yang menatap lama Hasan.

"HAAAASAAANNNN!!!" kata kami syok mendengar mbok Ratih.

 "Mbok Ratih masih bisa mengenali saya? Love you mbok.....!"kata bigfoot itu yang ternyata adalah Hasan. Hasan memeluk erat mbok kesayangan nya itu.

"Iyalah, kan mbok yang rawat den dari kecil!" kata mbok ratih. Ibuku mulai berjalan kearahku sambil memeluk badanku, meninggalkan gitar Nayan didekat tangga.

"Ini Hasan anak kesayangan mami?" kata ibuku yang langsung memelukku.

 "Iyalah siapa lagi....!!!" kataku yang langsung memeluk ibuku dengan erat.
Namun tak berlangsung lama karena adikku mendekatiku dan memegang pundak ku.

"Hooh ini kakak ke?" kata adikku yang langsung mendekat dan memegang kedua pundakku.

"Bukan!! Aku bukan kakakmu! Aku kakaknya bigfoot!!" kataku yang marah namun tak berekspresi dan melepaskan pegangannya dipundakku.

     Kini hari semakin malam, kami terlarut kedalam suasana malam sambil bercerita. Malam ini sangat sepi diluar, tidak terdengar suara orang orang sekitar yang menongkrong di pos kamling didepan rumah ku, hanya saja terdengar suara jangkrik dan serangga lainnya diluar. Kami semua duduk dikursi ini, sambil memanjakan Hasan seperti bayi. Bahkan Hasan dibuatkan susu hangat, dipijat, dielus, bahkan dimanjakan dikursi ini.

"Udah mi, nggak usah dipijetin...." kata Hasan yang menolak pijatan dari ibunya itu.

"Kan kamu capek baru sampai..." kata ibuku yang masih terus memijit punggungku.

 "Enak banget jadi kakak! Aku selama ditinggal kakak nggak pernah di perlakukan kayak gitu..." kata Nayan yang masih mengunyah permen.

"Sini papi pijatin!" kata ayahku yang langsung memijat Nayan, namun bukan dengan lembut tapi dengan keras bahkan ditekan seperti menekan tombol saja.

"Bukannya enak, tambah sakit nih pundak!" kata Nayan yang langsung menurunkan tangan ayah dari pundaknya.

"Hahahahha.." tawa kami semua kecuali Nayan.

"Maaf ya kak, Nayan bilangin kakak bigfoot..." kata Nayan yang langsung memegang tangan Hasan.

"Hmm..." kata Hasan sambil mengedipkan mata satu kali, menandakan iya.

HASAN [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang