#07. KELUARGA IMPIAN

297 30 6
                                    






♥♥♥



"Amanda, kamu bener, kan, bukan pacarnya si bontot?" tanya Aurora yang entah sudah keberapa kalinya.

"Iya kak, bukan."

"Yakin? Serius?"

"Lima rius kak Rara," jawab Amanda yang langsung membuat Aurora mengucap hamdallah berkali-kali.

"Jangan mau jadi pacar bontot Nda, dia anaknya gak bener. Nyebelinnya minta ampun. Kakak aja heran kenapa bisa punya adik kayak Gema, padahal kan, ya, kakak kita itu cool abis," tutur Aurora membuat Amanda mengerti bahwa Gema ternyata tiga bersaudara.

"Kamu kenal Gema dimana, Nda?" sungguh Aurora mempunyai tingkat kepo yang sudah berada di stadium akhir.

Seketika Amanda meringis ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Gema."Eee....disamping tong sampah," jawab Amanda pelan.

"HA?!" teriak Aurora, tapi persekian derik berikutnya tawa Aurora menggelegar disetiap sudut ruang tamu.

"Rara! Kalo ketawa jangan segitunya," tegur seseorang dari ambang pintu, dengan setelan kantornya.

"Eh, kaka ehehe... Maaf kak," ucap Aurora cengengesan.

Genta mengernyit menatap Amanda yang duduk bersama Aurora. Terlebih keduanya yang nampak akrab. Memilih melenggang pergi meninggalkan keduanya, berfikir jika keduanya adalah sahabat.

"Itu tadi kakaknya kak Rara?" tanya Amanda.

Aurora mengangguk antusias, "Ganteng, ya, cool,  kan, duh kak Genta itu emang perfect future husband," ucap Aurora.

"Gak kayak Gema, kan, udah tengil, manja, sok iye, duh salah apa gue punya adek kayak bontot," lanjutnya membuat Amanda terkikik. Untung saja cowok yang di bicarakan sedang keluar sebentar bersama ibundanya. Jika tidak, Amanda berani bertaruh bahwa akan ada perang saudara disini.

Baru sekitar tiga puluh menit ia bercengkrama dengan Aurora, Amanda  sedikit banyak sudah paham bagaimana sifatnya yang blak-blakan dan suka menindas Gema. Walaupun begitu, percayalah Aurora sangat menyayangi adiknya itu.

"Duh, Amanda sayangnya bunda, maaf ya, bunda lama," ucap Davira yang baru saja masuk dengan diikuti Gema dibelakang yang menenteng empat kantung kresek besar.

"Eh tante, gak papa kok. Harusnya Manda yang minta maaf, gara-gara ada Manda tante malah repot," elak Amanda.

"Bunda sayang, bunda. Gimana?"

"Bu-bunda?" ucap Amanda ragu.

Davira tersenyum puas sembari mengangguk membenarkan ucapan Amanda.

"Bunda mau masak buat makan kita. Kamu disini dulu ya, ngobrol-ngobrol sama Rara dan Bontot."

"Bun!" tekan Gema untuk memperingati bundanya agar tidak lagi menggunakan nama panggilannya di depan Amanda. Bisa runtuh harga dirinya.

"Iya iya, ganteng!" ucap Davira membuat Gema tersenyum cerah. Tapi, Gema bagai di terbangkan jauh ke Angkasa dan di jatuhkan begitu saja, ketika Davira melenggang pergi sembari berucap, "Masih ganteng kak Genta sama Papa tapi."

"Bundaaaa," rengek Gema spontan, melupakan bahwa ada sosok lain yang sedang mati-matian menahan tawa mendengarnya.

Hancur sudah harga diri sosok Alnilam Gema Abinaya dihadapan Amanda.

"Ekhem," dehem Amanda membuat Gema menoleh, kesadarannya akhirnya terkumpul. Semburat merah tanpa diundang muncul di telinganya.

Oke, Gema malu.

Gemanda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang