...
•Rundingan•
Jeno memutuskan untuk menginap dirumah Handoko. Sebenarnya ia tidak memiliki niat demikian, tetapi Kakak Iparnya itu terus memaksa Jeno untuk singgah lebih lama.
Rumah Handoko yang terbuat dari kayu itu hanya memiliki 3 kamar tidur. Alhasil, Jeno tidur di ruang tengah. Jeno tidak mungkin meminta Anisa untuk tidur di kamar Ana sedangkan mereka saja tidak akur. Yang ada, nanti hanya pertengkaran antar saudara semalaman.
Sekitar pukul 9 malam. Jeno dan Handoko masih mengobrol di ruang tengah. Srihar sudah tidur bersama Alena. Anak ketiganya itu memaksa untuk tidur lebih awal.
Di ruang tengah, Handoko dan Jeno mengobrol hal-hal yang ringan, awalnya. Namun semuanya berubah topik menjadi tentang Ana.
"Mas rencana kapan mau bawa Ana ke dokter?" tanya Jeno.
"Belum tau, Jen. Soalnya Mbak mu aja kayak gitu," jawab Handoko sembari menghela napas berat. Ia cukup pusing memikirkan anak sekaligus istrinya yang keras kepala.
"Kalo nggak gerak cepat, takutnya ntar ada apa-apa, Mas." Handoko menyeruput kopi hitamnya. Matanya menerawang ke depan.
"Ya aku tau, Jen. Masalahnya cuman di Mbak mu aja. Kalo dia oke, semuanya oke."
Jeno menatap prihatin Kakak Iparnya. Ia tau kalau Handoko sedang pusing. Pikirannya pasti bercabang kemana-mana.
"Kalo aku yang bawa ke dokter kayaknya nggak bisa, Jen. Soalnya tau sendiri kerjaan ku banyak," ujar Handoko sembari menatap Adik Iparnya.
"Nggak bisa ditinggal sehari aja?"
Sejenak Handoko diam. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan.
"Nggak ditinggal aja semrawut, apalagi ditinggal, Jen. Bubar."
"Iya juga, sih, ya." Jeno menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Menatap Kakak Iparnya penuh rasa iba. "Minta tolong Akbar, nggak bisa, Mas?"
"Ya, kalau Akbar nggak sibuk, sih, biasanya mau aja."
"Coba ntar tanyain, Mas." Handoko mengangguk.
"Sekarang kita coba minum rebusan air akar Kayu Bajakah aja dulu, Mas. Siapa tahu ampuh," saran Jeno yang disetujui Handoko.
"Ya, sama doa nya jangan lupa. Kasian juga anakku," ujar Handoko dengan nada prihatin.
Ia menatap kamar Ana yang tertutup rapat. Handoko yakin sekali putri sulungnya sedang tidak baik-baik saja. Mengingat kondisinya yang seperti itu, yang belum diketahui pasti penyakit atau bukan, serta ditambah dengan ucapan-ucapan Srihar yang tak elok sama sekali.
Dari kecil, Ana tidak pernah merasakan hidup yang benar-benar hidup. Tidak ada kebahagiaan apalagi keceriaan yang berarti.
Dulu, ia difitnah sebagai anak haram, karena Ana lahir prematur. Sehingga orang-orang mengira Ana sudah ada sebelum kedua orang tuanya sah. Bahkan yang lebih parahnya lagi, fitnah itu ditujukan untuk Ana dengan Ayah yang bukan Handoko. Melainkan kakeknya, Ayah dari Handoko.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...