...
•Pengobatan•
Ana menunduk lemah diatas ranjangnya. Sudah dua hari Srihar tidak berbicara apapun. Tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dan Ana tidak berani menegur Ibunya lebih dulu.
Ana merasa seperti Srihar menjauhinya. Seperti Srihar kecewa dengannya. Padahal Ana tidak meminta dan tidak menginginkan semua ini. Yang Ana ingin hanyalah perhatian Srihar, kehangatan dalam keluarganya, dan yang terpenting selalu sehat dalam keadaan apapun.
Ana duduk diatas ranjang. Ia sibuk memakan Chiki dan memainkan Hp-nya. Ia tidak mempedulikan Srihar yang mungkin akan mengomel perihal pekerjaan rumah. Toh, Ibunya akan tetap membersihkan semua walau dengan mulut komat-kamit.
Sampai hari ini, Ana masih menerka-nerka apa yang bersemayam di payudaranya. Ia berpikir dan mencoba mencari informasi dari Google. Walau menemukan beberapa kemungkinan, Ana masih kurang yakin.
Ia ingin meminta Srihar untuk membawanya ke rumah sakit, sekedar periksa mengenai payudaranya. Tapi Ana yakin sekali kalau Ibunya itu pasti akan mengomel, mempermasalahkan soal biaya.
Jika sudah begitu, Ana tidak bisa memaksa lagi. Karena, ya, Ana sendiri tidak memiliki uang. Sebab pengeluarannya semasa kuliah bisa dibilang tidak sedikit.
Uang bidikmisi Ana tabung untuk wisuda nanti. Karena senior Ana sudah memberitahu bahwa biaya wisuda itu tidak sedikit. Apalagi kampus Ana swasta, uang yang diterimanya setiap semester tidak sebanyak jika dari kampus negeri.
Mempertimbangkan banyak hal itu sangat perlu. Pertama agar tidak kecewa dikemudian hari. Kedua agar tidak ada konflik yang berarti. Apalagi jika Ana harus cekcok dengan Ibunya untuk yang kesekian kali. Ia merasa dosanya sudah cukup banyak dengan menyusahkan kedua orang tuanya.
"Ini apa, ya? Di Google aneh-aneh," gumam Ana dengan pelan. Ia masih belum menemukan titik terang.
Pikirannya bercabang. Tentang Srihar, Handoko, kedua adiknya, serta tentang payudaranya yang berulah. Belum lagi masalah PKL, tugas kuliah, terakhir Akbar-kekasihnya selama 3 tahun terakhir-yang belum Ana beri kabar mengenai payudaranya.
Ana juga harus mempertimbangkan bagaimana memberitahu Akbar mengenai ini semua. Ana perempuan dan Akbar adalah laki-laki. Rasanya tidak etis membicarakan sesuatu yang demikian dengan lawan jenis. Mengingat juga bahwa Akbar belum sah menjadi suaminya.
"Ana!" Suara panggilan dari Srihar membuat Ana mendongak dan menatap ke arah pintu kamar. Memperhatikan sang Ibu yang berdiri disana.
"Iya, Ma?" tanya Ana. Perlahan ia meletakkan Hp-nya diatas kasur.
Srihar masuk. Kemudian duduk di ranjang bersebelahan dengan Ana. Ia menatap putri sulungnya dengan tatapan yang tidak Ana mengerti maksudnya.
"Siap-siap. Kita ke rumah Mbah Mun," ujar Srihar masih dengan menatap Ana. Yang ditatap mengerjapkan mata bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...