...
•Berangkat•
Matahari tampak gagah menerangi bumi. Tampak terik meski masih pagi. Awan tipis yang membentang tak mampu menutupi birunya langit.
Burung gereja berterbangan diatas sana. Menjadi hiasan langit yang biru. Hingga menimbulkan kesan indah layaknya lukisan diatas kanvas.
Hari ini begitu cerah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Jangankan awan mendung, awan biasa pun tampak malu-malu. Hanya beberapa dengan helaian tipis yang anggun.
Ana duduk ditepi ranjang. Ia menatap langit melalui jendela kamar yang terbuka. Menikmati sejenak ciptaan Tuhan yang paling dikaguminya itu.
Dibawah ranjang, tepat dihadapan kedua kaki Ana. Terdapat tas ukuran sedang dengan motif batik.
Karena akan operasi, pasti Ana menginap. Jadi, ia sudah siapkan pakaian ganti, handuk, sikat gigi, odol, serta beberapa keperluan lain.
Ana menunduk. Menatap tas yang sudah sangat siap untuk ia bawa pergi. Sejak kemarin, Srihar belum bicara banyak kepadanya. Hanya sepatah dua patah kata mengenai hasil periksa kemarin.
Sejujurnya Ana ingin mengajak dan membujuk Srihar untuk ikut. Untuk sekedar menemaninya di Rumah Sakit. Tapi, jangankan membujuk. Ketika Ana memberitahu bahwa ia di rujuk saja, Srihar hanya mengangguk lalu pergi. Padahal awalnya Ibu beranak tiga itulah yang bertanya.
"Oke. Nggak papa kalo Mama nggak nemenin di Rumah Sakit, yang penting Mama doain lancar sampai akhir," ujar Ana pelan, menyemangati diri sendiri.
Kemudian Ana bangkit. Membawa tasnya keluar rumah. Hingga sampai di teras, ia duduk di kursi. Menatap jalanan yang tampak berdebu.
Ketika menuju ke teras, Ana tidak melihat Srihar, maupun Anisa. Apalagi Alena, ah, gadis kecil itu pasti mengikuti kemanapun langkah kaki Ibunya.
Ana duduk sembari menunggu Akbar. Mungkin lelaki itu sedang mengurus izin libur kerja. Dan Ana berharap segera selesai, jadi mereka tidak terlalu siang sampai di Rumah Sakit. Mengingat jarak tempuh membutuhkan waktu sekitar 2 jam.
Ketika Ana sedang memainkan Hp, Handoko datang. Lelaki penghujung kepala empat itu duduk disebelah putrinya, Ana.
"Na, hari ini Papa nggak bisa ikut. Mungkin besok, nggak papa?" tanya Handoko hati-hati. Takut jika saja ucapan serta tindakannya melukai hati Ana.
"Nggak papa, sih, Pa. Yang penting Papa doain Ana, semoga urusannya lancar sampai akhir," jawab Ana sembari tersenyum. Ia balik menatap Handoko.
"Sebenernya Papa nggak tega lepasin kamu pergi sendirian," ujarnya lagi.
"Ya gimana, Pa. Kerjaan Papa nanti terbengkalai, kan, tambah repot." Ana terkekeh pelan. Tangan kanannya mengusap lengan kiri Handoko.
"Iya. Papa juga usahain cari uang buat kesana sama Anisa besok. Walaupun biaya pemerintah, nggak mungkin juga kesana tangan kosong." Ana mengangguk paham. Ia mengerti kondisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...