...
•Tidak Ada Perubahan•
Sudah beberapa bulan berlalu sejak Ana memberitahu Akbar. Tetapi gadis itu masih belum bicara mengenai masalah periksa ke dokter terhadap Srihar. Juga belum mengabari bahwa Ana sudah memberitahu Akbar.
Ana pun belum bicara lagi mengenai masalah ini kepada Akbar. Ia ingin mendinginkan kepala.
Ana sudah mulai menjalankan PKL. Ia berangkat bersama Anisa dan pulang dijemput gadis itu. Sesekali mereka bertengkar karena salah satunya bangun telat atau terlalu lama bersiap-siap.
Ah, ya. Ana itu kuliah jurusan Pendidikan Matematika. Jadilah ia PKL menjadi guru Matematika.
Seperti saat ini. Ana sedang duduk di pos satpam bersama Nisa. Partner PKL-nya.
Ingatnya Nisa bukan Anisa. Nama mereka mirip tapi beda orang. Nisa itu teman Ana sedangkan Anisa itu adik Ana.
Mereka berdua asik mengobrol dan makan bekal. Karena saat ini jam istirahat. Murid-murid SMA Taruna juga pasti sedang mengisi perut mereka di kantin. Atau sekedar bermain game di dalam kelas.
"Kamu kenapa, Na?" tanya Nisa ketika melihat Ana tampak tak berselera selama menghabiskan bekalnya.
"Nggak papa, sih, Kak." Ana tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Ia tidak mungkin bercerita kepada Nisa mengenai masalahnya, bukan?
"Yakin? Dari tadi kayaknya nggak selera gitu." Ana menggeleng pelan. Ia meyakinkan Nisa juga dirinya, bahwa ia baik-baik saja.
Padahal jauh di lubuk hati Ana. Ia merasa tertekan. Dadanya seolah sulit untuk sekedar menghirup udara.
Lalu keduanya sibuk mengobrol seputar PKL, pandangan mereka mengenai SMA Taruna, yang kata Ana ini mengecewakan.
Bagaimana pun, dulu sekolah ini begitu keren. Tapi sekarang agaknya telah berubah. Tidak tampak lagi keren yang pernah diagung-agungkan.
Ah sudahlah, toh Ana hanya sebagai mahasiswa PKL disini. Bukan pengajar tetap, hahahaha.
Setelah selesai makan bersama Nisa di pos satpam. Kemudian Ana turun, kembali ke kantor. Ia diminta pamongnya untuk memeriksa hasil ulangan harian muridnya beberapa hari lalu.
Pamong Ana namanya Ibu Fari, orang cantik. Bibirnya kecil, wajahnya tembam, imut. Tapi sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang tampan.
Di dalam kantor majelis guru. Ana mulai memeriksa pekerjaan muridnya satu persatu. Kepalanya pusing ketika melihat tulisan mereka yang semrawut. Berantakan. Acak-acakan. Ya Allah.
Tidak bisakah dirapikan sedikit saja? Ini menguras otak namanya.
Ana menghela napas. Jika dia menjadi guru nanti, pasti akan lebih pusing dari ini. Tapi mereka kan sudah SMA, kenapa tidak belajar menulis yang baik dan benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...