24

125 19 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

•Insiden•

Dua hari sudah berlalu ketika Ana mulai menginjakkan kaki disekolah. Hari pertama kembali berangkat PKL, Ana hanya duduk diam di kantor. Memeriksa hasil ulangan murid-murid saja. Tidak mengajar seperti sebelumnya.

Hari kedua, ia mulai mengajar di kelas-kelas terdekat dari kantor majelis guru. Tujuannya agar tidak terlalu lelah. Ia juga membawa bekal dari rumah, mengingat ia tidak boleh mengonsumsi makanan yang mengandung micin, MSG, dan sebagainya.

Hari ini, adalah hari ketiga. Seperti hari-hari sebelumnya, Ana diantar oleh Anisa. Namun bedanya, Ana tidak membawa bekal. Dikarenakan Srihar belum memasak pagi ini.

Entah kenapa, Srihar kembali menjadi Ibu yang sensitif. Hobi marah-marah, berteriak, atau sebagainya. Jiwanya yang kalem seperti saat Ana operasi sudah menguap entah kemana. Mungkin Srihar memang tidak betah menjadi sosok yang anteng terlalu lama.

Seperti pagi ini, Ana sudah mendapat siraman rohani dari Srihar. Sebab Ibunya yang bangun kesiangan, Ana yang menjadi sasaran. Padahal kalau dipikir-pikir, masalah bangun kesiangan atau tidak merupakan urusan dengan diri sendiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.

Semalam pun, Srihar tidak menghabiskan waktu bersama Ana. Jadi tidak semestinya pagi ini menyalahkan Ana. Terkadang Srihar entahlah.

Ana berjalan dengan gontai dari kelas ke kantor. Ia baru saja mengajar kelas XII, menggantikan Buk Fari yang tidak bisa hadir. Seperti biasa, murid-muridnya tidak mau belajar. Mereka hanya bercerita dan bertanya seputar Ana yang operasi hingga keadaannya hari ini.

Pandi, yang katanya menyukai Ana, menatap guru PKL nya itu dengan sendu. Perawakannya yang tampak dewasa membuat siapapun kadang lupa, bahwa ia masih remaja SMA. Apalagi jika tidak mengenakan seragam, benar-benar tidak dikenali.

Sosoknya yang berwibawa, memperhatikan Ana sepanjang bercerita. Ia juga sedikit bertanya mengenai guru kesayangannya itu. Terselip rasa iba disetiap kata yang ia ucapkan.

Oke, lupakan Pandi.

Sampai di kantor, Ana langsung duduk di kursinya. Ia memegang kepala yang terasa pusing. Matanya kunang-kunang tapi tidak lama, karena kemudian kembali seperti semula. Ia menghela napas. Mengambil sekotak susu dari dalam tas dan segera meminumnya.

Masih satu jam lagi menuju waktu istirahat. Dengan kepala yang pusing seperti ini, tidak mungkin Ana sanggup menahannya selama itu. Jadi, ia memutuskan untuk ke pos satpam atau meja piket. Lebih baik menunggu waktu istirahat disana dengan beberapa mahasiswa magang lainnya daripada disini sendirian.

ANNA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang