...
•Akbar•
Ana menatap cucian piring yang menumpuk. Kemudian helaan napas terdengar begitu berat. Jika orang-orang memiliki wastafel untuk mencuci piring, maka Ana tidak. Ia masih manual seperti dulu. Jadi, mencuci piring yang sebanyak ini sepertinya melelahkan.
Tanpa membuang waktu lagi, Ana mulai mencuci. Dengan pelan dan pasti hingga noda kotoran dan lemak pada alat-alat makan itu hilang. Sehingga kembali bersih meski tidak baru.
Setelah dibilas, Ana menyusunnya di sebuah baskom. Lalu ia angkat menuju rak piring yang jaraknya sekitar 5 meter.
"Akhh!" Buru-buru Ana meletakkan baskom tersebut. Payudara sebelah kanannya kembali berdenyut. Ia meringis pelan.
Kenapa pas cuci piring, sih!? Sungguh Ana amat kesal. Apalagi Srihar malah pergi entah kemana bersama Anisa dan Alena. Sehingga Ana sendirian yang membereskan rumah.
Menghela napas berat, akhirnya Ana memilih menyeret baskom yang berisi alat makan dengan tangan kiri. Mengurangi resiko jika nanti payudaranya berdenyut kembali.
Sampai di rak, Ana mulai menyusunnya satu persatu. Dengan gerakan pelan hingga selesai.
Setelah selesai, Ana berjalan menuju ruang tengah. Kemudian merebahkan diri diatas sofa. Ia menatap langit-langit ruangan dengan tatapan lelah.
Tangan kirinya menekan benjolan di payudara sebelah kanan. Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibirnya yang agak tebal.
Ana bertekad dalam hati. Nanti setelah Srihar pulang, ia akan bicara dengan Ibunya mengenai masalah payudaranya. Mengenai sesuatu yang bersemayam disana.
Jika nanti Srihar tidak setuju, ia akan memberitahu Akbar. Ia harus melawan rasa malunya sebentar saja.
Beberapa menit Ana merebahkan diri, kemudian ia bangkit. Duduk menyandar di sofa. Menatap sekeliling ruangan ini. Yang tidak ada apa-apanya.
Ana menghela napas sekali lagi.
Tidak ingin berlarut-larut, akhirnya Ana memilih kembali ke dapur. Membersihkan meja yang berantakan. Menyapu lantainya. Terakhir mengepel lantai dapur yang sudah terasa lengket.
Selesai dengan urusan pekerjaan, Ana pun segera merebus akar Kayu Bajakah. Setelah mendidih ia segera meminumnya dengan perlahan, karena panas.
Tidak lama setelah itu, Alena muncul sambil berlari. Tawanya amat lepas dan nyaring. Gadis kecil itu menubruk kedua kaki Ana. Ditangannya ada sebuah mainan. Pasti Srihar yang membelikan.
"Waaah, mainan baru, ya?" tanya Ana sembari berjongkok. Mensejajarkan diri dengan Alena.
"Iya. Tadi Mama yang beliin pas mau pulang," jawab Alena dengan cengiran yang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...