•Sebuah Cerita•
Anisa memang seorang adik dengan tipikal judes. Mulutnya yang pedas semakin pedas karena ia memulai cabai. Eh, maksudnya makanan mengandung cabai.
Bagi Anisa, rasa pedas dan berkata pedas itu sensasinya, ah mantab!
Nggak cuman judes dan pedas, sih. Anisa juga tipe orang yang gampang bodo amatan. Bagi dia, asal di seneng, sih oke aja. Gak peduli orang lain sakit hati atau tidak.
Sama halnya dengan peristiwa Ana. Akan tampak jelas kebencian dan ketidaksukaan Anisa terhadap Kakak kandungnya itu. Bagi Anisa, Ana sangat beruntung.
Dimata Anisa, Kakaknya adalah sosok dengan sejuta keberuntungan. Mulai dari bantuan pemerintah, rezeki yang lumayan lancar, cantik, tubuh bagus, dan yang terpenting pasangan sesempurna Akbar.
Anisa merasa seolah dirinya kecil. Makanya ia seringkali berkata pedas kepada Ana semata-mata menutupi rasa iri yang kerap kali singgah.
Namun, perasaan itu menguap ketika suatu hari, setelah Ana dan Srihar sama-sama adu mulut di ruang tengah. Setelah Akbar berbicara dengan Srihar. Setelah Ibunya mengatakan hal yang sebenarnya tak pantas kepada Ana. Anisa merasa seperti, ia ternyata lebih beruntung daripada Ana.
Hari itu, setelah Ana dan Srihar beradu argumen. Besoknya Ana dan Anisa berada di dapur yang sama. Alena dan Srihar sedang berkunjung ke rumah bibi mereka.
Anisa melihat Ana yang duduk melamun di dekat pintu. Awalnya Anisa mengabaikan karena ia sudah buru-buru ke kamar mandi. Tapi urung kembali ke kamar saat Ana masih bergeming dengan posisi yang sama.
Perlahan Anisa mendekati Ana. Duduk lesehan di hadapan sang Kakak. Beberapa detik Ana masih sama saja, hingga mulai menyadari keberadaan Anisa.
"Ngapain, An?" Anisa hanya diam saja. Tidak menyahuti pertanyaan yang keluar dari bibir Ana. Ia malah asik menyelami kedua bola mata Kakaknya itu.
"Kamu ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain, abis dari kamar mandi," jawabnya setelah ia menemukan tatapan asing di mata Ana.
"Kak Ana ngapain disini?" Ana mengernyit. Ini kan, dapur. Ana salah satu penghuni rumah, emang gak boleh gitu?
"Duduk," jawab Ana singkat.
"Yakin duduk aja?" Anggukan Ana justru membuat Anisa menghembuskan napas jengkel. Jelas-jelas Kakaknya itu sedang melamun.
"Halah, lagi ngelamun gitu bilangnya duduk!" Tuh, kan. Gas nya kenceng.
"Apaan, sih, An!"
"Cerita gih!" Ana diam. Ia menatap lekat Adik keduanya. Anisa yang menyebalkan sepertinya sedang jalan-jalan diluar. Karena dihadapannya kini hanya ada Anisa dengan raut wajah penasaran dan khawatir yang muncul bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...