...
•Perasaan Ana Saja atau Memang Iya?•
Gemerlap lampu jalanan tampak indah. Lalu lalang kendaraan pun kelihatan tenang. Tidak ada macet, tetap tertib seperti biasanya. Muda-mudi yang berjalan kaki sebagian terlihat serasi.
Beberapa pedagang kaki lima sibuk melayani para pembeli. Cafe-cafe kecil di pinggir jalan mulai ramai. Alunan musik romantis maupun pop terdengar dimana-mana. Menambah suasana malam ini begitu lengkap.
Langit pun seolah mendukung, dengan menghadirkan bulan yang terang tanpa awan. Serta beberapa bintang yang memanjakan mata.
Ana berjalan bersisian dengan Akbar di trotoar. Menikmati malam sembari mengobrol ringan.
Jika sore tadi mereka menghabiskan waktu di kedai pinggir jalan. Maka malam ini Akbar mengajak Ana berjalan-jalan di taman kota. Hm, bukan taman, sih. Hanya jalan yang dihiasi dengan lampu-lampu lalu pinggir jalannya ada cafe-cafe serta pedagang kaki lima di pinggir jalan lainnya.
"Mau duduk?" tawar Akbar ketika mereka sampai di depan cafe terbuka. Maksudnya, tempat duduk pelanggan berada dibawah cahaya bulan. Bukan dibawah atap. Serta dindingnya hanya setengah badan. Menjadikan cafe tersebut tampak menyatu dengan lingkungan.
"Boleh." Lalu keduanya duduk.
"Mau pesan apa?"
"Eum." Jari Ana menelusuri daftar menu. Melihat-lihat mana yang paling menarik perhatiannya. "Kentang bakar, aja."
Akbar reflek menatap Ana.
"Kentang bakar?" Oh ini kedengaran asing. Walaupun Akbar kelihatan mapan. Namun ia tidak pernah memakan makanan aneh seperti itu.
"Iya. Kentang bakar," jawab Ana berusaha meyakinkan.
"Emang ada?"
Ana mengangguk sembari menunjuk tulisan Kentang bakar di daftar menu. Kedua mata Akbar juga mengikuti kemana jari Ana menunjuk. Lalu kembali menatap kekasihnya.
"Ada, ya?" ujarnya pelan dan berdiri untuk pergi memesan.
Benak Akbar sempat bingung. Dalam kepalanya masih bertanya tentang kentang bakar yang terdengar asing.
"Mbak," panggilnya ketika sampai di meja pemesanan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya karyawan cafe dengan senyum ramah.
"Ada kentang bakar?"
"Oh, ada, Mas. Mau pesan berapa?"
Akbar diam. Ia masih mencerna. Memang ada ternyata.
"Oh, satu porsi. Sama telur gulung juga satu porsi. Terus minumannya jus jeruk."
"Baik, Mas. Di meja nomor berapa, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...