...
•Boom!•
Ana terbaring di ranjang dengan lemah. Ia sudah sadarkan diri setelah pingsan hampir tiga jam. Meski sudah membuka mata, namun tubuhnya masih lemas. Ia tidak mampu untuk sekedar berdiri.
Ana belum mengabari Akbar tentang dirinya yang pingsan. Jika detik ini Ana bilang baru saja bangun dari pingsan, maka pasti Akbar akan langsung menancapkan gasnya kemari. Tapi, Ana tidak ingin merepotkan lelaki itu. Jadi ia hanya diam.
Netranya menatap langit-langit kamar. Kemudian menghela napas berat. Sudah tiga Minggu hampir sebulan dirinya dirumah, tapi tensi darahnya tak kunjung normal. Terakhir cek, masih dibawah seratus. Kenyataan ini membuat Ana merasa benar-benar hampir putus asa.
Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok Anisa yang berjalan sembari menenteng kantong plastik.
Kemudian, ia duduk di ranjang Ana sembari bersedekah dada. Tentunya setelah meletakkan kantong plastik tersebut ditempat yang sama. Anisa menatap Ana, mulutnya mengunyah sesuatu. Sedangkan Ana, ia hanya menatap sang adik dengan helaan napas.
"Ngapain kamu?" tanya Ana setelah mereka hanya diam.
Anisa mengangkat bahunya acuh. Tangannya turun mengambil isi dari kantong plastik yang dibawanya. Ternyata kuaci.
"Mau?" tawarnya kemudian. Ana menatap kuaci yang Anisa sodorkan dalam diam. "Makan aja, sih."
Ana menerimanya, ia memakan biji Bunga Matahari itu sekali kunyah. Tidak terasa, seolah tidak mengunyah dan menelan apa-apa.
Mengerti dengan tatapan Ana, Anisa pun kembali menyodorkan kuaci. Yang langsung diterima oleh Ana tanpa berpikir dua kali.
"Mama mana?" tanya Ana ditengah kegiatan mereka memakan kuaci.
"Entah, tadi di dapur."
"Yang nganterin Kakak pulang, tadi siapa?" tanya Ana lagi.
"Entah, aku baru pulang beberapa menit yang lalu, kok."
"Mama gak cerita ke kamu?"
"Enggak. Mama diem aja, tuh."
Ana diam. Ia menatap Anisa sejenak lalu beralih menatap pintu. Meski tidak ada siapa-siapa disana.
"Kok bisa pingsan?" tanya Anisa, balik.
"Entah, tau-tau udah pingsan, aja."
"Emang gak kerasa?" tanyanya lagi.
"Entah, kayaknya biasa-biasa aja, tuh."
"Ish!" Anisa berdecak kesal. Karena Ana mengembalikan jawaban-jawabannya tadi. Meski dengan topik yang berbeda.
"Keluar sana!" usir Ana.
"Males. Bersyukur dong ditemenin sama manusia tercantik sejagat raya," sahut Anisa sembari mengibaskan rambut indahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNA [completed]
ChickLitBudayakan follow sebelum membaca :) -ANNA- Jika saja hari itu Ana nekat. Jika saja hari itu semuanya setuju. Jika saja hari ini terjadi pada hari yang lalu. Mungkin tidak akan seburuk ini. Mungkin tidak akan ada keramaian tanpa undangan. Mungkin. Se...