Bagian 31 : Pindah

42.3K 3.6K 28
                                    

Hari ini adalah hari saat Ara dan Adam menempati rumah baru. Tepatnya rumah yang sudah disiapkan Adam untuk tempat tinggalnya kelak.

Dengan senyum sumringah, Adam mengemasi barang-barang ke dalam kotak kardus. Tentu saja Ara juga mengemasi barang-barangnya. Namun, berbeda dengan Adam. Ekspresinya terlihat lesu dan tidak bersemangat.

Adam yang melihatnya tersenyum maklum. "Nanti kita sering main ke sini kok, Ra."

Ara mengangguk lemah, kemudian berjenggit kaget saat Adam tiba-tiba memeluknya erat.

"Bang? Ngapain?"

"Berhenti bikin ekspresi wajah seperti itu, Ra. Pipimu nggembung kayak bakpao tau, bikin pengen gigit."

Mendengar ucapan Adam, Ara merasa curiga. Kemudian tersadar suatu hal, wajahnya pun memerah malu. Ia refleks menutupi kedua pipinya. "Jangan makan aku di sini, Bang! Malu...."

Adam yang melihat reaksi Ara pun terkejut. Yang ia maksud bukan itu. Maksud Adam, ia terlihat imut, sampai membuatnya merasa sangat gemas.

Ia menahan tawa gelinya. Adam mendekatkan bibirnya ke telinga Ara. Deru napas Adam yang menerpanya membuat Ara meremang. "Kalau nggak boleh makan di sini, di dapur boleh, kan?"

"HAH?!" Ara melongo kaget dan menjauhkan Adam dari tubuhnya.

Ara langsung memikirkan adegan-adegan romantis dewasa di dapur yang sering ia tonton. Wajah Ara rasanya seperti terbakar saking panasnya.

Adam yang melihatnya sungguh susah menahan tawanya. Ia tidak menyangka Ara akan memikirkan hal-hal seperti itu.

Sekalian godain Ara kayaknya seru.

Adam menggerakkan tangan untuk meregangkannya. "Wah, aku bener-bener pengen makan di dapur."

"Bang...," rengek Ara membuat Adam menatapnya.

"Kenapa? Apa yang salah? Aku laper, wajarkan makan di dapur?" tanya Adam membuat Ara tertegun dan menatap Adam yang sedang menaik-turunkan alisnya.

Sial, aku dikerjain sama ini orang. Liat aja pembalasan aku, batin Ara kesal dan mengemasi barang-barangnya dengan cepat.

***

Adam menatap rumah di hadapannya dengan sumringah. Hasil kerja keras dan tabungan Adam selama ini.

Ara yang melihat Adam sebahagia itu ikut tersenyum. Laki-laki ini, entah sejak kapan senyumnya menular.

Sembari menunggu mobil pick-up yang membawa barang-barang mereka datang, Ara menggandeng tangan Adam dan menariknya manja. "Bang, pengen liat-liat dalemnya."

"Liat-liat dalemnya Abang?" tanya Adam membuat Ara salah tingkah dan mundur sembarangan, membuatnya hampir terjungkal kalau Adam tidak memeluk pinggang ramping Ara.

"Hati-hati!" ucap Adam tegas, khawatir Ara akan melukai tubuhnya sendiri.

Ara tertawa melihat ekspresi Adam. Wajah Adam terlihat lucu dengan wajah tegas dan mata membulatnya. Seandainya saja saat ini ia memegang kamera, ia pasti memotret ekspresi Adam dan menyimpannya untuk dijadikan wallpaper ponselnya supaya ia selalu ingat Adam bisa mengeluarkan ekspresi seaneh itu.

"Kenapa?" tanya Adam merasa aneh Ara tertawa, padahal tidak ada hal yang lucu.

Ara berdiri dengan tegak. "Ekspresinya lucu banget sih, Bang?" tanya Ara menggoda Adam.

"Mana ada, orang ganteng gini kok," ucap Adam lalu membenarkan poninya ke belakang.

Ara yang melihatnya cukup terpana.

Sial, dia memang tampan bjir!

"Ayo masuk," ajak Adam yang diangguki Ara.

Rumah itu memang tidak besar, dengan konsep minimalis dan ornamen warna pastel yang kalem membuat betah, juga sirkulasi yang bagus membuat rumah ini tidak pengap dan terang.

Tanpa sengaja Ara melihat Adam yang sedang tersenyum puas melihat sekeliling.

"Terima kasih, Bang."

"Buat?"

Ara menggeleng tidak tahu. "Pengen terima kasih aja. Ngomong-ngomong rumah Bang Adam bagus."

"Apasih, Ra... Ini rumah kita."

"Iya-iya, kalau gitu terima kasih Bang Adam udah bikin rumah yang nyaman untuk keluarga kecil kita nanti."

Adam mengangguk. Bertepatan dengan itu, suara ketukan pintu terdengar.

"Paket!"

Adam menggeleng mendengar suara teriakan Ilham. "Kayaknya barang-barang kita udah sampai."

"Wah, ada Abang-abang kurir nih. Dari Si Fast atau JNA ya?"

"Anjir punya Adek satu nggak ada ahlaq banget. Udah ditolongin juga," omel Ilham mendengar ucapan Ara.

"Lagian siapa suruh teriak-teriak gitu?"

"Kan ceritanya bercanda."

"Oh..." Ara ber-oh ria kemudoa tertawa keras. "Bang Adam, kucu banget ya! Bang Ilham lagi bercanda. Aduh, perut aku sampe sakit," ucap Ara di sela tawa mengejeknya.

"Heh!" Ilham hendak menoyor kepala Ara yang ahlaqless itu tapi dicegah Adam. "Toyor aku aja. Sini," cegah Adam.

Sedangkan Ara bersembunyi di balik tubuh Adam kemudian menjulurkan lidahnya mengejek.

Ilham melepaskan tanyannya dari Adam kemudian berjalan menjauh ke arah mobil dengan menggerutu yang sengaja dikeraskan. "Lupa kalau Ara udah punya pawang, udah gitu pawangnya Bucin lagi."

"Ara sayang Bang Adam," ucap Ara cepat kemudian mengecup pipi Adam singkat dan menyusul Abangnya.

Adam cukup terkejut karena perbuatan Ara barusan. Ia melihat punggung Ara yang menjauh kemudian merangkul Ilham.

Tak lama kemudian sebuah senyuman terbit di bibir Adam. Kalau seperti ini terus bisa-bisa Adam beneran ingin makan Ara rasanya.

***

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang