Ponsel Ara yang ada di meja makan beberapa kali bergetar. Dalam hati ia sudah menebak apa penyebabnya. Jelas! Tentu saja karena ia membuat status masakkannya tadi.
"Gimana, Bang?" tanya Ara, mengabaikan ponselnya yang baru saja bergetar kembali.
"Enak, tapi lain kali garamnya ditambah dikit ya dan goreng ayam krispinya pakai api kecil aja, pasti lebih enak lagi, tapi gini juga enak kok, teksturnya juicy," ucap Adam.
Ara tertegun dan tersenyum lebar mendengarnya. "Makasih, Bang! Bang Adam udah nggak ngambek lagi kan?"
"Liat nanti," jawab Adam, dan hilanglah senyuman Ara sigantikan senyum jenaka.
"Pelan-pelan, Bang. Ntar keselek."
***
Setelah mencuci piring, Ara merebahkan diri di hammock yang menggantung di teras.
Iseng ia membuka aplikasi pesan bwrwarna hijau yang sedari tadi menampilkan notifikasi.
Benar dugaannya, ada banyak yang mengomentati status buatannya.
Tolonggg gakuad sama kebucinannya.
Aduuuhh, Ara Bucinnnn 😭
Bucin banget sih? 🤧
Dan masih banyak komentar mengatakan bahwa ia Bucin alias Budak Cinta.
Entah mengapa ia merasa tersinggung dengan hal itu.
Sorry ini bukan bucin. Tolong, ini itu bukan bucin. Kamu aja yang nggak pernah ngalamin diprioritaskan orang atau memprioritaskan orang yang kamu sayang. Iri banget jadi orang, kesalnya dalam hati.
Apa menunjukkan rasa kasih, memprioritaskan, berjuang karena cinta itu selalu dicap sebagai Bucin? Kalau semuanya dianggap Bucin, buat apa ada status hubungan itu ada? Bukannya hubungan itu dibuat agar bisa menunjukkan, bisa memprioritaskan, bisa berjuang dengan lebih dan lebih? Dimana letak kebudakannya?
Perasaan, Ara hanya membuat status yang menunjukkan rasa di dalam hatinya, apakah itu disebut budak cinta juga?
Ara memutuskan untuk meletakkan ponselnya di atas perutnya tanpa membalas dan menutup matanya.
Drrrtttt
Sebuah getaran panjang datang dari ponselnya. Ada telepon masuk. Saat Ara mengeceknya, ternyata Puput.
"Halo, Put?" tanya Ara dan melebarkan mata. "HAH?" Sambungan telepon ditutup dan Ara langsung melesat ke dalam kamar mencari laptop miliknya.
Ia abaikan reaksi terkejut daru Adam yang baru mandi dan hanya memakai handuk.
Sa bodo, pake handuk dan aku gak liat-liat dia. Laptop yang terpenting!
Setelahnya ia membuka aplikasi meeting miliknya.
"Kenapa, Ra?" tanya Adam yang merasa heran.
"Sttt, diem. Ada dosen killer nih tiba-tiba ngadain kelas dadakan, ada tugas baru katanya."
"Di jam hampir malem gini?" tanya Adam yang hanya diangguki Ara.
Adam menurut dan hanya diam, duduk di depan Ara dipisahkan oleh meja.
Setelah hampir satu jam berlalu, kelas Daring Ara sudah selesai. Ara menghela napas dan merebahkan diri di atas lantai.
"Ra, dingin di situ."
"Lagi meluruskan tulang belakang, Bang," jawab Ara asal.
"Ya udah, bentar aja terus langsung pindah, kalau nggak Abang gendong dan ceburin ke kolam."
"Kolamnya siapa coba?"
"Bak mandi maksudnya," jawab Adam cengengesan, mencoba menghibur Ara yang terlihat frustrasi.
Ara bangkit dan mengambil buku-buku yang sebelumnya ia tata rapi di rak. Ia pun menuju ke depan laptop lagi dan fokus mengerjakan.
Adam tidak ingin mengganggu dan berlalu ke dapur, membuatkan susu stroberi kesukaan Ara.
"Emang dikumpulin kapan, Ra?" tanya Adam sembari memberikan segelas susu.
"Hari ini juga, jam 12 malem nanti tenggatnya, gila nggak tuh?"
Adam hanya tersenyum.
"Bang Adam enak dikasih cuti. Akukan enggak."
Adam menggelengkan kepalanya. "Tapi kan kita nikah udah ditentuin, cuti kamu ya minggu tenang sebelum UAS ini."
"Judulnya aja minggu tenang. Realitanya bener-bener nggak tenang. Apalagi nih si dosen-dosen killer."
Adam memicingkan matanya. "Emang killer itu yang gimana?"
"Yang galak, pelit kalau kasih nilai, kaku, terlalu disiplin, nggak boleh telat masuk, ngasih tugas deadline mepet gini juga, dan yah gitulah," jelas Ara.
"Yang begitu killer? Berarti Bang Adam killer dong?"
Ara terkejut. Eh iya, lupa kalau di samping aku juga ada dosen.
"Iya, Bang Adam killer, tapi Ara sayangggg banget. Saranghae ehehe."
"Itu menurut pandanganmu sebagai mahasiswa, tapi bagi dosen itu juga demi masa depan kamu juga, Ra. Kalau misal kamu nggak disiplin, teru nanti kalau—"
"Iya iyaaaa, Araa tahu. Yakan Ara emang mahasiswa, mana tahu dari pandangan dosen," kesal Ara kemudian mengerucutkan bibirnya.
"Dahlah Ara pusing mau nugas. Abang mau bantuin apa nggak? Kalau nggak—"
"Kalau nggak apa? Jangan lupa aku ini lagi di mode marah gara-gara bakso depan gang."
Dih, marah kok bilang-bilang. Dasar!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertanda Dosenmu (Complete ✓)
RomanceSerangkaian kejadian tidak terduga membuat mereka harus melakukan sebuah pernikahan. Walaupun bagi yang lain, menikahi dosen dengan rambut hitam legam dan segala paket plus-plus itu merupakan suatu rezeki nomplok, tapi bagi Ara tidak. Bagi Ara, kel...