PROLOGUE

298 17 2
                                    

Tap... Tap... Tap....

Langkah kaki menggunakan sepatu pentofel bergesekan dengan lantai batu khas sebuah kastil. Ia berlari dari tempat yang seharusnya ia masih duduk bersama keluarga kecilnya.

Kilatan sebuah api dari ledakan memenuhi indera penglihatan siapapun yang berada di sekitarnya. Teriakan akan sebuah kalimat makian dan minta tolong bercampur silih bergantian.

Ia masih berharap apapun yang di pikirkannya saat ini tidak akan terjadi, bagaimanapun konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun ini telah merugikan banyak orang. Termasuk keluarga besarnya—

"Ku mohon, kau dimana?" lirihnya sesekali memukuli dinding.

Batinnya benar-benar frustasi, meski fisiknya selalu menghadapi sekumpulan orang pemberontak. Kemejanya penuh dengan noda merah dari para manusia jahanam yang berani menentang sang-Pencipta dan memilih dosa untuk harga diri yang tak masuk akal.

"Tolong!!!!!"

Suara yang sangat familiar di auditorinya, ia menajamkan sang indera dimana letak suara tersebut. Tak lama matanya terbuka dengan menggertakan gigi. "Sial!!!"

Kakinya berlari dengan kecepatan tidak wajar seorang manusia, sesekali berhenti pada kaca jendela setinggi 3 meter untuk melihat posisi di bawahnya.

Bawah?

Ya, Bawah. Dasar lantai kastil akademik yang suci ini, sialnya hari ini menjadi sebuah neraka bagi keluarganya—sebernarnya setiap tahun ajaran baru.

Suara senjata memenuhi isi lorong di lantai satu, bau meisu bercampur darah segar masuk menyengat ketika melewatinya. Beberapa kali kakinya terjatuh ketika menuruni sebuah anak tangga.

Napasnya tidak teratur, ingin rasanya jantung yang ada dalam tubuhnya melompat keluar dan meninggalkan raganya tergeletak tanpa daya. Sungguh picik keluarga mereka, hanya karena sebuah kegiatan adat tahunan pada kastil ini harus rela menghilangkan nyawa banyak orang.

Ia hampir saja sampai pada dasar lantai satu, di depannya sekitar ada dua puluh anak tangga lagi. Di matanya, tiba-tiba muncul seorang wanita dengan pakaian berlumuran darah dan sedikit terpincang.

Entah darah siapa, ia berharap bukan milik gadis tersebut!

Tubuhnya lari sekuat tenaga hingga sang wanita yang sedang menggendong seorang bayi tersenyum dengan pandangan sorot matanya memohon. Satu langkah kaki ia sampai pada sang wanita, suara tembakan listrik memekik indera pendengaran keduanya. Bayi yang di tangannya terlempar spontan pada gendongan si lawan bicara, hingga tubuhnya jatuh kaku tak bergerak.

Bibirnya masih berusaha untuk mengucapkan sepenggal kalimat, namun yang keluar hanya. "Jaga dia—"

....

27 March 2021 - 10.40 WIB

ZEUS CASTLE: Vena Alga Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang