"Kenapa kakak nggak pernah cerita kalau sering pergi ke danau?” Tanya Amara saat mereka berdua sedang menunggu antrian di sebuah kedai bubur kacang ijo.
Saat ini keduanya sudah ada di tempat jajanan pinggir jalan, yang sudah mulai dipadati orang yang sedang mencari makanan.
Sesuai dengan permintaan Panji tadi ia harus mentraktir makan, jadilah mereka berhenti dulu untuk memilih jajanan yang akan mereka beli, akhirnya mereka sepakat untuk masuk ke kedai bubur yang terlihat padat antrean pembelinya, karena menurut Panji bubur disana sudah terkenal sangat enak.“Memang harus cerita gitu?” balas Panji sambil terus menengok antrian di depannya.
Sepertinya ia sudah tak sabar ingin menikmati semangkuk bubur favoritnya itu.“Nggak juga sih! tapi kalau tahu kan kita bisa barengan.”
“Itu sih maunya kamu.”
“Ah, kakak nggak asyik,” cemberut Amara.
Kemudian ia membuang mukanya ke sembarang arah, membuat Panji yang berdiri disampingnya tertawa melihat tingkahnya.
Aneh tapi lucu, mungkin itulah yang terlintas di pikirannya saat melihat cewek di sampingnya itu, yang tadi tampak begitu galau kelihatannya tapi sekarang sepertinya sudah terlihat kembali ceria lagi.
Dasar! cewek itu memang susah dimengerti. Seperti adiknya, Maya. Tingkahnya tak begitu jauh berbeda, mungkin karena mereka berdua sahabatan sudah sejak lama.
“Berapa mangkuk?” Tanya si penjual bubur kacang.
“Dua, tapi dibungkus saja, Pak,” jawab Panji cepat.
“Tunggu sebentar!” ucap penjual bubur lagi.
Amara merogoh sakunya kemudian wajahnya terlihat pucat, sepertinya ia baru menyadari kalau dari tadi ia tak bawa uang sepeserpun.
“Kak, aku nggak bawa uang,” ucapnya setengah berbisik sambil memperlihatkan senyum memelasnya.
Panji langsung melototkan matanya sejenak, lalu menghela nafas panjang, dan dengan cepat ia mengambil uang dari saku celananya dan membayar bubur yang sudah dipesannya.
Kemudian mereka berdua buru-buru keluar dari kedai tadi.“Kalau gak bawa uang ngapain ngajak kesini? Malu-maluin aja! berarti kamu masih punya utang, eh sekarang tambah lagi utangnya, gimana sih?” terlihat Panji menggerutu saat mereka sudah keluar dari kedai.
“Maaf deh, Kak! Aku nggak nyadar, kirain ada uang di saku ternyata….”
“Ternyata aku juga yang bayar,” sela Panji memotong kalimat Amara.
“Ya deh! Terserah kakak aja.”
Akhirnya mereka berjalan lagi menuju ke arah rumah Amara yang sudah makin dekat.
Setelah beberapa menit, akhirnya keduanya hampir sampai di depan rumah, dari kejauhan terlihat kerumunan orang di depan pintu pagar rumah.“Ada apa yah, kak? Kok banyak orang gitu?” Tanya Amara sambil menatap ke arah kerumunan dengan tatapan penuh keheranan.
Panji tidak menjawab ia hanya mengangkat kedua bahunya sambil berkata. ”Mana kutahu kita kan baru datang.”
“Jadi penasaran!!” Amara bergumam pelan dan mempercepat langkahnya meninggalkan panji sambil mendorong sepedanya dengan cepat.
Setelah dekat tampak beberapa orang yang membawa kamera dan juga mikrofon, sebagian lainnya ada yang mencoba mengintip melalui celah pagar yang terbuka.
Cewek itu meletakkan sepedanya begitu saja di pinggir jalan depan pagar, lalu ia menghampiri salah seorang dari mereka.“Kalian sedang apa?” dengan polosnya Amara mengejutkan seorang yang sedang mengintip dari sebuah celah yang terbuka.
“Ini rumah mantan suaminya Rianti Darwis kan?” Tanya salah seorang dari mereka begitu melihat kedatangan Amara.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA AMARA [Tamat]
Teen FictionAmara, hanya cewek enam belas tahun dengan segudang permasalahan di sekitar kehidupannya, tapi ternyata selama ini ia punya beberapa rahasia yang mulai terkuak satu persatu, mulai dari kenyataan bahwa dirinya ternyata putri dari seorang aktris terke...