Saat istirahat tiba, Imel langsung menarik tangan Amara menuju ke kantin, rupanya tadi ia tak sempat sarapan. Dengan langkah tergesa-gesa tanpa menunggu Maya dan Luna, dua sahabat Amara juga, karena biasanya mereka selalu kemana-mana berempat tak pernah ketinggalan satu sama lain.
"Ra, dari tadi gue perhatiin lo itu ngelamun terus ada apa sih?" tanya Imel sesampainya di kantin.
Ia langsung memesan semangkuk bakso ditambah tiga buah lemper plus empat tahu isi, sepertinya ia benar-benar lapar sampai sebegitu rakusnya, Amara hanya menatap geli saat melihat sahabatnya itu langsung melahap satu persatu makanan di hadapannya.
Kalau saja Maya dan Luna ada disini pasti mereka bakalan ketawa ketiwi melihat cara makan Imel, badan boleh kecil tapi porsi makannya wuihh jumbo!!! Itulah kalimat yang selalu dilontarkan Maya kalau melihat Imel makan dengan porsi banyak.
"Papa lo ngenalin pacar baru lagi? atau lo masih mikirin nilai matematika yah?" Sejenak Imel menatap Amara serius.
"Kayaknya lo harus ikut pelajaran tambahan deh, Ra! biar nilai lo nggak jeblok lagi."
"Habisnya gimana lagi, Mel. Gue benar-benar payah banget yah..." sahut Amara sekenanya sambil mengaduk-aduk baksonya.
Sebenarnya bukan nilai matematika saja yang jadi masalahnya hari ini, tapi hatinya yang sedang dalam masalah. Amara masih memikirkan saran Imel untuk ikut les tambahan supaya nilai matematikanya jadi lebih bagus, tapi ia tak habis pikir kenapa matematika begitu sulit baginya.
Setiap ada pelajaran matematika ia selalu tak pernah bisa konsentrasi, pikirannya malah selalu hinggap kemana-mana.
Entah kenapa Amara selalu saja tak bisa memahami semua yang dijelaskan Pak Zein, guru matematika itu kadang terlalu cepat menjelaskan materi pelajaran, dan juga terlalu banyak memberi latihan soal yang membuat kepalanya tambah pusing setiap ada jam pelajarannya.Bahkan yang paling bodohnya lagi, saat Pak Zein sedang menjelaskan bukannya memperhatikan materi pelajaran, tapi ia selalu menghitung berapa kali kacamata gurunya itu melorot dan terpaksa harus membetulkan letak kacamatanya lagi, atau selalu saja membayangkan berapa botol minyak rambut yang habis dalam satu bulan untuk bisa melicinkan rambutnya sampai klimis, sampai segitunya ngebayangin he... - benar-benar keterlaluan Amara ini.
Di semester kemarin nilai matematikanya sungguh menyedihkan, papanya bahkan sampai tidak percaya dengan nilai yang ada di raportnya. Sebenarnya Amara bukan anak bodoh, tapi tidak jenius juga. IQ nya mungkin seperti kebanyakan remaja seusianya, rendah tidak tinggi apalagi, tapi ia hanya selalu merasa terobsesi dengan semua masalah di sekelilingnya sampai mengganggu aktivitasnya.
Namun, satu hal yang sudah pasti, hari ini saat mendengar Riki, si cowok impiannya sejak di kelas sepuluh dulu, ternyata jalan bareng sama Audra, sungguh membuat patah hatinya, dan tentu saja menambah daftar masalahnya untuk saat ini.
"Ra, lihat deh!" Imel menyenggol lengan Amara. "Itu si Audra bareng Riki jalan kesini."
Amara terkesiap saat menoleh ke belakang, dilihatnya Audra dengan gayanya yang manja menggandeng tangan Riki mesra sekali.
Hah!!! Audra sama Riki. Aduh! ini bener teror buat gue, okey gue harus kuat lihat mereka, nggak boleh lemah, serasa mau meledak hatinya saat melihat mereka bergandengan. Namun, masih ditahannya perasaan cemburu yang sudah memenuhi rongga dadanya, yang kini sudah mulai merembet naik ke mukanya yang terlihat memerah dan terasa panas.
Amara bangkit dari kursinya, hanya satu yang ada dalam kepalanya ia harus ke toilet untuk mendinginkan wajahnya yang kian terasa memanas, untuk menghindari pemandangan yang akan membuat dadanya terus bergejolak karena terbakar rasa cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA AMARA [Tamat]
Teen FictionAmara, hanya cewek enam belas tahun dengan segudang permasalahan di sekitar kehidupannya, tapi ternyata selama ini ia punya beberapa rahasia yang mulai terkuak satu persatu, mulai dari kenyataan bahwa dirinya ternyata putri dari seorang aktris terke...