Bab 53. Jejak - jejak permusuhan

42 8 0
                                    

Pagi ini Amara diantarkan Rianti sampai sekolahnya, pintu gerbang yang setengah terbuka tampak masih sepi, hanya terlihat satu atau dua murid yang melewatinya dan menganggukkan kepala mereka saat menyapa satpam penjaga yang duduk di dekat pos penjagaan.

Rianti menghentikan mobil tepat di depan pintu gerbang, menatap Amara sebentar sebelum ia berkata.

"Oh iya, sayang sepertinya mama nggak bisa jemput kamu nanti, soalnya siang nanti mama ada janji yang nggak bisa dibatalin," ucap Rianti ketika mengantar Amara pagi itu.

"Iya, nggak apa-apa kok, ma. Ara kan udah gede bisa pulang sendiri."

"Ya... tapi rasanya mama itu selalu pengen nganterin dan jemput kamu tiap hari kayak gini, karena dengan begitu mama bisa selalu dekat sama kamu."

Segera Amara merentangkan kedua tangannya, lalu memeluk Rianti dengan sikap manjanya sambil tersenyum bahagia, "mama itu emang mama yang paling baik sedunia."

Rianti mengeratkan pelukan hangatnya sambil mencium puncak kepala putrinya itu.

"Terimakasih, sayang."

"Kalau gitu Ara masuk dulu, ma," pamitnya lalu mencium pipi Rianti dengan lembut.

"Ya, Ara sayang."

Sesudah itu, Amara melepaskan pelukannya dan keluar dari mobil Rianti.

Dia berjalan dengan pelan menuju ke kelasnya, suasana masih begitu lengang dan terasa sepi. Walaupun sudah ada beberapa murid yang mulai berdatangan.

"Jadi selama ini kamu tinggal sama mama kamu?" Sebuah suara mengejutkannya secara tiba-tiba, suara yang terdengar tidak asing selama dua hari ini.

Amara menengok ke arah asal suara tadi, matanya langsung tertuju pada sosok Riki yang berdiri tak jauh darinya.Terlihat tangannya menggantung tas ranselnya di bahu sebelah kiri dan satu tangannya lagi dimasukkan ke saku celana seragamnya. Sangat keren dan menawan.

Untuk sejenak, mata Amara sedikit terpesona dibuatnya sebelum akhirnya mengangguk dan menjawab pertanyaannya tadi.

"Iya," jawabnya tegas.

Tanpa menoleh lagi, ia kembali berjalan tidak menghiraukan Riki yang berjalan mengikutinya dari belakang.

Amara hanyalah cewek bertubuh kecil, dan langkah kakinya tidak terlalu lebar sehingga memudahkan Riki yang memang berpostur sangat tinggi untuk bisa segera menyusulnya dan menjajari langkah kecilnya itu.

Kini keduanya sudah berjalan bersebelahan, hanya saja Amara sedikit menggeser tubuhnya supaya tidak terlalu dekat dengan cowok itu. Keduanya masih tampak diam, seperti sunyinya suasana pagi ini, tidak ada yang memulai berbicara satupun.

"Kayaknya kamu selalu datang pagi-pagi banget, dulu juga aku sering lihat kamu, waktu itu bukan mama kamu yang nganterin tapi kayaknya papa kamu," mendadak Riki jadi sangat akrab dan mengeluarkan banyak kata-kata.

"Iya, dulu aku emang tinggal sama papa," terlihat cuek dan masih sama seperti sebelumnya tak menoleh sedikitpun, hanya terus berjalan dengan mata lurus menatap ke depan. Tidak merasa terganggu sedikitpun.

"Sejak kapan kamu sama Panji?"

Pertanyaan selanjutnya dari cowok di sebelahnya itu langsung saja menghentikan langkah kakinya. Wajahnya sedikit memerah saat mendengar pertanyaan tadi, entah itu marah ataupun merasa malu, tak ada yang bisa menerka isi hatinya, mulanya dia pikir cowok itu tidak akan bertanya lagi. Apalagi pertanyaannya kali ini sangat pribadi dan terdengar begitu sensitif.

"Sorry aku buru-buru," mempercepat langkahnya agar menjauh dari Riki, wajahnya terlihat sangat tidak nyaman setelah mendapat pertanyaan tadi, dengan cepat ia memberi alasan supaya Riki tidak lagi menanyainya dan berhenti mengikutinya.

RAHASIA AMARA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang