Riki mengemudi sangat kencang, hujan masih belum reda ketika mereka tiba di rumah Rianti.
Amara melepas seatbelt, melirik sekilas pada Riki dan hanya mengatakan, "terimakasih."
Sangat irit dalam kata-kata, tapi itu pantas untuk Riki. Menurutnya cowok itu tak perlu repot - repot juga hanya untuk mengantarnya karena ia masih bisa pulang sendiri.
Amara meraih pintu hendak turun saat tangan Riki menahan tangannya, matanya yang dingin dan dalam menatapnya penuh harap, seakan sedang memohon padanya.
"Tunggu dulu," ucapnya tegas meski agak tertahan.
Amara menepiskan tangan Riki, merasa tak nyaman jika cowok itu memegangnya tanpa permisi.
"Aku tanya sekali lagi apa kamu beneran pacaran sama Panji?"
Seolah ingin mendapat kepastian darinya, Riki masih menganggap kalau di antara Amara dan Panji seperti tidak ada apa-apa, bahkan di depan semua teman-temannya keduanya tidak pernah mengakuinya, tapi ketika ia membawa Amara ke taman belakang waktu itu, Panji sangat tegas mengatakan bahwa dia adalah pacarnya.
Amara menatap kesal cowok di depannya, tak bisakah cowok itu untuk tidak mengulangi pertanyaan yang sama dalam satu hari ini.
"Aku sudah bilang kan kalau aku nggak mau bahas masalah itu lagi."
"Aku masih mau."
Amara menghembuskan napas berat, merasakan kekesalannya bertambah dan bertambah lagi.
"Aku dan Kak Panji itu teman dari kecil."
Amara merasa Riki tidak akan berkata lagi saat ini tapi ternyata dugaannya salah, karena cowok itu tersenyum puas dan kembali berkata penuh semangat.
"Aku masih akan menganggapmu sebagai pacarku, dan aku nggak akan berhenti mengejar kamu walau sudah mutusin aku waktu itu."
"Oke, aku dan Kak Panji pacaran," akhirnya Amara berkata sangat jujur, tidak lagi menutupi akan hubungannya dengan Panji.
"Kalau begitu aku akan menghajarnya dan merebut kamu lagi dari dia."
"Kamu..."
Amara keluar dari mobil dan membanting pintu keras sekali, tak mempedulikan lagi guyuran air hujan yang membasahi rambut dan baju seragamnya, tanpa menoleh sedikitpun ia langsung masuk ke dalam rumah. Hatinya sudah dikuasai kemarahan yang sangat dalam, yang hanya akan bisa reda jika Riki tak lagi ada di depannya, tangannya hampir saja memukul cowok itu, jika ia tak segera turun dari mobil.
Sementara dari dalam mobil Riki hanya menatapnya dari jauh, menyeringai puas akan sikap Amara yang sangat marah padanya, menikmati wajah marahnya yang semakin menarik, ia masih menatap cewek yang selama beberapa hari ini terus saja membayangi pikirannya tanpa henti. Barulah setelah Amara masuk ke dalam rumah dan memastikannya tidak akan keluar lagi, akhirnya ia melajukan mobilnya menjauh dari rumah Rianti.
Amara masuk ke dalam rumah dengan wajah yang masih terlihat marah dan kesal, ia masih mengingat jelas semua ucapan Riki saat di mobil tadi. Hatinya masih tak mengerti sebegitu gigihnya cowok itu buat dekat dengannya, sangat jelas melihat tekadnya yang kuat dari kedalaman mata dinginnya, tapi ia juga menganggapnya benar -benar nekad ditambah dengan kepura-puraan semua omongannya, sangat menjengkelkan dalam tatapan matanya.
"Kenapa harus ketemu terus sama cowok kayak gitu sih! Malas banget tadi kalau bukan Om Arga yang nyuruh pulang bareng dia, mendingan nunggu aja deh!!! Ihh... bete banget." Bergumam pada dirinya sendiri sambil menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Suasana dingin yang menyeruak dari luar jendela karena hujan yang mengguyur deras, seakan tidak terasa oleh Amara, karena saat ini suasana hatinya yang sedang tidak begitu baik, setelah cukup lama berbaring dan menatap kosong ke atas langit -langit kamar, ia kembali duduk bersila dan meraih tasnya, mengambil kembali ponselnya yang sejak tadi sengaja dimatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA AMARA [Tamat]
Ficção AdolescenteAmara, hanya cewek enam belas tahun dengan segudang permasalahan di sekitar kehidupannya, tapi ternyata selama ini ia punya beberapa rahasia yang mulai terkuak satu persatu, mulai dari kenyataan bahwa dirinya ternyata putri dari seorang aktris terke...