Amara menuruni anak tangga dari lantai dua dengan sangat cepat, langkah kecilnya melesat seolah terasa ringan, kalau bukan karena jaketnya yang tertinggal ia tak mungkin kembali lagi ke dalam kelas. Seharusnya ia sedang asyik ngobrol dengan Maya atau Imel di halaman depan sambil menunggu supir yang akan menjemputnya.
Ketika langkah kakinya melewati ruangan Lab yang bersebelahan dengan ruang OSiS, mendadak ingatannya melayang kembali pada beberapa waktu lalu saat Audra cs menyeretnya dan mencoba menerornya di dalam sana, hatinya begidik ngeri membayangkan jika pada saat itu Riki tidak menolongnya dengan segera, mungkin ia akan dibiarkan terkunci sendirian di sana.
Syukurlah cowok itu bisa melihatnya dan menyelamatkannya dari perbuatan nekad Audra. Suatu kebetulan yang menguntungkan, atau memang hari itu adalah bukan hari terburuk baginya.Matanya terus saja menatap ke ruang Lab saat dia berjalan, hingga sebuah suara cukup mengejutkannya secara tiba-tiba.
"Hey, apa yang kamu lihat?"
Riki tengah berdiri di depannya, cowok itu baru saja keluar dari ruang OSIS, menatap heran pada Amara yang berjalan sendirian.
"Eh, nggak ada," Amara berusaha menutupi rasa kagetnya dengan tersenyum walau agak canggung.
Riki melirik sekilas ke arah ruang Lab, ia cukup mengerti tatapan Amara saat ini, mungkin cewek itu teringat dengan kejadian buruk beberapa waktu lalu.
Ketika Amara sudah dekat, ia langsung mengambil langkah di sebelahnya. Tidak ada dari keduanya yang memulai berbicara. Amara hanya mempercepat langkahnya hingga setengah berlari untuk membuat cowok itu tertinggal di belakangnya.
Tidak seperti biasanya, kali ini Riki membiarkannya berjalan makin menjauh, tak berminat mengejarnya, hanya senyum geli yang terlihat jelas ketika matanya terus menatap punggung Amara hingga cewek itu menghilang di ujung koridor yang bercabang.
Amara! Tak apa jika hari ini kamu berlari dariku, suatu hari kamu harus melihatku dengan jelas tentang semua perasaanku. Satu saat nanti kamu pasti akan menyadarinya, tatapan Riki seakan menyiratkan isi hatinya saat ini.
Namun, baru satu langkah cowok itu berjalan, matanya tertuju pada benda bening berkilau yang tergeletak di lantai. Sebuah kalung dengan liontin huruf A, jelas sekali sebagai inisial dari si pemiliknya. Diam-diam Riki memungutnya dan menggenggamnya di tangan, lengkungan di sudut bibirnya seolah memahami tentang si pemilik kalung tersebut.
Setengah berlari ternyata membuat Amara tidak nyaman, sesaat ia menengok ke belakang, merasa bahwa Riki tidak mengikutinya akhirnya berhenti sesaat untuk mengatur nafas.
Dari kejauhan Imel dan Maya masih terlihat tertawa-tawa ceria, entah apa yang menjadi topik rumpinya, tapi jika dilihat dari ekspresi wajah keduanya itu adalah hal yang paling menggelikan.
"Ketemu kan, pasti ketinggalan di kelas," Imel menatap jaket di tangan Amara.
Amara mengangguk, menatap Imel yang masih betah ngerumpi bareng Maya. Matanya menyipit memperhatikan Imel yang mencoba menahan tawa dengan menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Tumben lo belum pulang, Mel?"
"Kayaknya yang jemput telat, nih. Lagian sekarang belum waktunya jam pulang kayak biasa, Ra."
"Iya juga, sih!"
Amara ikut tersenyum sendiri sebelum akhirnya ia ikut nimbrung dengan kedua sahabatnya itu.
Setelah ujian sekolah usai dan sebelum pembagian rapot, jam pulang sekolah berubah lebih cepat dari biasanya, jadi mereka bisa pulang lebih awal jika tidak ada kegiatan lagi di kelas, tapi kebanyakan dari mereka biasanya memilih berkumpul dengan teman satu gengnya sambil bersenda gurau di depan gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA AMARA [Tamat]
Teen FictionAmara, hanya cewek enam belas tahun dengan segudang permasalahan di sekitar kehidupannya, tapi ternyata selama ini ia punya beberapa rahasia yang mulai terkuak satu persatu, mulai dari kenyataan bahwa dirinya ternyata putri dari seorang aktris terke...