Bab 23. Izin dari papa

50 17 0
                                    

Pagi itu seperti biasanya, Amara duduk untuk menikmati sarapannya sebelum ia berangkat ke sekolah. Arya masih duduk dan tampak belum menyentuh secangkir kopi yang tadi dimintanya pada Bi Mur, ia teralihkan sejenak dengan suara ponselnya yang berbunyi dan menjawab panggilan dengan cepat.

“Dari siapa, Pa?” Tanya Amara penasaran setelah papanya itu menutup ponselnya.

“Mamamu,” jawab Pak Arya pendek, tapi membuat cewek itu mendongakkan kepalanya sesaat setelah mendengar jawaban dari papanya.

Mengetahui mamanya yang di telpon tadi yang bicara dengan sang papa, Amara jadi enggan lagi bertanya, karena kalau sudah menyangkut tentang dirinya, ia tahu mama dan papanya itu pasti akan selalu ribut dan berdebat yang tak pernah ada ujungnya.

“Ara…” panggil Arya penuh kelembutan.
Amara menatap papanya, ia melihat seperti ada sebuah hal yang ingin disampaikan padanya, dan itu terlihat jelas dari raut wajah papanya itu.

“Ya, Pa!” Amara menatap ke arah Arya.

Sejenak Arya menarik kedua bibirnya menampakkan sebuah senyuman kelegaan yang terpancar dari lubuk hatinya yang paling dalam.

“Kalau kamu kangen sama mama kamu, dan memang sesekali ingin tinggal di rumah mamamu, papa izinkan kok, karena sekarang kamu putri papa yang hampir beranjak dewasa, tapi bukan berarti kamu akan tinggal sama mama kamu selamanya. Ya, karena mamamu itu selalu sibuk jadinya papa takut nantinya kamu di sana kesepian,” dengan pelan Arya mengutarakan tentang maksud dan keinginannya itu pada Amara.

Seketika Amara yang seolah mendapatkan lampu hijau dari sang papa, langsung menghambur ke arah Arya dan memeluk papanya itu dengan wajah penuh senyuman manjanya.

“Beneran, Pa. Makasih banget, Pa. Ara sudah dibolehin ke rumah mama,” ucapnya masih memeluk  Arya dengan erat karena begitu senangnya.

Arya mengusap rambut putrinya itu dengan penuh perasaan sayang, memang kini putrinya sudah bukan anak-anak lagi seperti dulu, walau bagaimanapun ia berhak juga untuk dekat dengan mamanya.
Ternyata semua yang disarankan Arga benar juga, kalau selama ini ia terlalu menjauhkan putrinya itu dari ibu kandungnya, seharusnya ia memberikan kesempatan untuk keduanya melalui hari-hari yang bisa mereka gunakan untuk berinteraksi antara ibu dan putrinya.

Sebenarnya dari dulu Arya tidak pernah melarang, tapi ia hanya tak mau kalau sampai Amara lebih memilih tinggal dengan mamanya, karena ia merasa sakit hati sewaktu dulu Rianti pergi meninggalkannya dan putri kecil mereka tanpa alasan yang jelas.
Dan dari saat itulah ia tak penah sedikitpun membiarkan Amara untuk begitu dekat dengan mamanya.

Kalau ada yang bilang ia kejam telah memisahkan antara seorang anak dan ibunya, mungkin orang yang berpendapat seperti itu tidak pernah tahu apa alasannya. Karena tidak semua yang terlihat jelek dari luar itu jelek juga di dalamnya. Semua yang ia lakukan hanya untuk kebaikan Amara, putri yang sangat disayanginya itu. Jika Amara tinggal dengan Rianti ia takut nantinya putrinya itu lebih memilih bersama mamanya dibanding dengan papanya.

“Ehmm… sepertinya aku ganggu kalian yah,” Arga yang sudah berdiri di depan meja makan tampak tersenyum melihat kakak dan keponakannya itu. Melihat aura kebahagiaan yang terpancar dari keduanya.

“Eh, Om…” lirik Amara lalu ia melepaskan pelukannya dari papanya itu.

Arga langsung duduk dan ikut sarapan bersama mereka pagi itu. Sementara Arya yang sudah menghabiskan sisa kopinya segera berpamitan kepada Arga dan Amara, sepertinya ia akan langsung berangkat ke kantornya, karena katanya pagi ini ia ada pertemuan yang mendesak dengan kliennya.

Kini tinggallah Arga dan Amara berdua saja, masih duduk menghadap meja makan. Keduanya belum menghabiskan sarapan mereka, karena memang ini masih terlalu pagi, jadi Amara masih terlihat santai, lagipula keahlian menyetir Hans boleh diandalkan juga kalau waktunya memang kepepet.
Amara tesenyum puas kalau mengingat pekerjaan Hans beberapa hari ini.

“Oh iya, Om. Ara mau laporin sesuatu nih!” ucapnya setelah papanya pergi.

“Laporan apaan? Emangnya aku ini komandan?“ canda Arga sambil tersenyum kecut sambil tangannya meraih gelas di depannya.

Amara hanya tertawa melihat reaksi dari Arga. Nyaris saja Om-nya itu menumpahkan air minumnya saat mendengar kalimat yang meluncur dari mulutnya tadi.

“Itu Om, soal Rayn.”

“Rayn... jadi dia sudah masuk yah? gimana kamu sama Rayn, sudah berteman?”

Amara menganggukkan kepalanya. “Sudah dua hari ini, Om. Kebetulan Ara satu kelas sama dia,” lanjutnya lagi.

“Baguslah kalau bagitu, mudah-mudahan dia betah karena yang Om dengar dia itu anaknya sering pindah sekolah dulunya, masa selama SMP saja dia lima kali ganti sekolah, itu yang Om dengar sih.”

“Hah, yang benar saja, berarti dia udah ganti  seragam sampai beberapa kali tuh selama tiga tahun,” Amara sampai menggeleng-geleng kepala saat mendengar penuturan Om-nya tentang Rayn.

“Oh iya,Om satu lagi ternyata di sekolah aku ada cowok yang katanya satu agency sama Rayn, Ara juga baru tahu sih, namanya Riki, Om kenal nggak?”

“Riki… “ sejenak Arga tampak berpikir.

“Oh iya, Riki. Jadi dia satu sekolah juga sama kamu?”

“Hmm… iya, Om, cuma Ara nggak sekelas sih sama Riki, terus dia juga kayaknya nggak kenal sama Ara,” terdengar ada rasa kecewa yang tertahan saat mengatakan kalimat terakhirnya itu.

Arga masih melanjutkan sarapannya, tanpa terganggu dengan semua pertanyaan dari keponakanya itu.

“Tadi papamu sudah ngasih izin soal tinggal sama mama kamu kan?” tebak Arga kemudian sambil tersenyum penuh arti.

“ Iya, Om.” Amara menganggukkan kepalanya dengan wajah penuh senyum sumringah.

“Baguslah, jadi kamu nggak perlu lagi sembunyi –sembunyi kayak kemarin-kemarin, lagian papamu pasti sebentar lagi mau nikah sama guru kelas kamu itu kan.”

“Emang papa sudah cerita soal itu sama Om yah?”

“Sudah.”

“Terus kapan katanya mau nikahnya?” Amara dibuat penasaran dengan semua yang disampaikan Arga pagi ini.

“Belum tahu sih katanya masih cari waktu yang tepat,” jawab Arga lagi. “Ini sudah agak siangan kamu harus berangkat sekolah kan?” saran Arga sambil melirik jam dinding.

Memang harusnya Amara sudah berangkat, tapi kalau sudah mengobrol dengan Om-nya itu, cewek itu suka lupa waktu.

“Kalau gitu pulang sekolah kita lanjutin lagi yah, Om,” serunya setelah pamitan terlebih dahulu.

“Kayaknya nggak bisa, ada pesanan rancangan dari beberapa orang yang nggak bisa ditunda, lain kali saja,” kilah Arga langsung berdiri dari duduknya, dan meninggalkan ruangan makan, terlihat langkahnya  yang cepat dan bergegas menuju ke ruangan kerjanya.

               ******

Sesampainya di sekolah seperti kebiasaan sebelumnya Amara langsung memeriksa lokernya terlebih dulu. Dan saat ia tiba di sana, cewek itu tak menemukan sesuatu seperti yang diharapkannya, terlihat raut wajahnya menunjukkan sedikit kecewa.
Tanpa melihat kanan kirinya lagi, ia langsung berbalik menuju ke kelasnya.

“Kayaknya aku cuma ngarepin yang nggak pasti saja, ah sudahlah lupakan saja!” gumamnya pelan sambil terus melangkah  menyusuri koridor sekolah yang sudah mulai banyak murid yang berlarian menuju kelas masing-masing.

Memang menunggu sesuatu yang tak pasti itu, hanya akan membuat kita terjebak dalam kekecewaan saja. Setidaknya seseorang harus bertanggung jawab, karena sudah membuat Amara jadi begitu berharap akhir-akhir ini.

RAHASIA AMARA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang