Bagian 30, Dami dan Tawa

1K 215 110
                                    

Ada yang tak kamu sadari tentang betapa berarti dirinya untuk hidupmu
***

Savara memasuki kelas setelah memastikan keadaannya terlihat baik-baik saja. Adrian sempat menawarkan diri mengantar, tapi ia tolak karena cowok itu juga harus segera masuk. Savara merasa bersalah, demi dirinya, cowok serajin Adrian rela bolos.

Setelah izin pada sang guru, ia diperbolehkan duduk. Savara melemparkan senyum pada kedua sahabatnya yang tampak khawatir.

"Entar gue cerita," gumamnya membuat mereka yang kembali membenarkan posisi duduknya menghadap depan.

Savara hendak mengambil buku paket dari laci meja, tapi yang ia ambil malah sebuah buku bersampul biru. Cewek itu membeliakkan mata mendapati barang yang selama ini cari.

"Ci, Ras, kalian liat ada orang duduk di sini?" bisiknya membuat keduanya saling berpandangan lalu menggelengkan kepala.

"Kenapa? Ada yang hilang?" tanya Laras.

"Ah enggak kok. Udah fokus lagi ke depan." Savara menatap diary miliknya. Dahinya mengernyit mendapati sebuah tulisan di halaman yang seharusnya kosong.

Sesuai harapan, doa kamu akan terkabul
Kebahagiaan mulai mendatangimu dan kebencian perlahan lenyap
Kamu hanya perlu memaafkan atas setiap luka yang diciptakan
Lalu, biarkan mereka menyesal dengan sendirinya

Savara tersenyum membaca sederet kalimat tersebut. Perasaannya bertambah tenang sekarang. Tapi ... tunggu, Savara melirik diary di tangannya lamat. Jika barang miliknya dikembalikan, berarti ia tidak akan berhubungan lagi dengan sosok itu. Entah kenapa Savara merasa kecewa.

Ia menatap pada papan tulis di depannya lalu bergumam pelan, "Apa gue punya kesempatan buat ketemu dia secara langsung?"
***

Bel istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Savara tidak ikut ke kantin karena sedang malas. Perasaannya belum sepenuhnya membaik. Lagipula ia malas bertemu Nagita meski ia tidak yakin cewek itu masih akan bersikap congkak setelah mengetahui semuanya.

Mendengar ketukkan jendela, Savara yang sedang tiduran membuka mata. Ia menegakkan badan mendapati Damian memperlihatkan kresek berisi makanan di tangannya. Cowok itu mengisyaratkan untuk menghampirinya.

Savara dengan malas melangkah keluar kelas. Mendudukkan diri di sebelah Damian, ia mengernyit bingung melihat cowok itu membawa gitar.

"Mau ngamen?" tanya Savara mengambil roti dari kresek dan membukanya. Damian hanya tertawa kemudian mencoba beberapa kunci.

"Gimana perasaan lo sekarang? Udah membaik?"

Savara menatap cowok itu yang masih sibuk dengan kegiatannya. "Lumayan," ucapnya lalu menyentuh lengan Damian. "Gue pernah bilang 'kan gue cuma tinggal sama mama?"

Damian mengangguk.

"Dulu waktu kecil papa ninggalin kita buat perempuan lain dan ... perempuan itu mamanya Nagita." Savara tiba-tiba saja ingin bercerita karena tidak ingin ada rahasia lagi dengan orang-orang terdekatnya. Ia tidak tahu kalau Damian sudah mengetahuinya sejak lama.

"Terus tadi kalian ketemu? Gue liat Nagita sama ... hm papa lo."

"Lo keliatan gak terkejut," ucap Savara heran. Cowok itu malah terkekeh. "Gue kaget kok." Dulu.

Savara mendengkus. Ia menyandarkan punggung sembari mengigit rotinya tak semangat. "Gue lega karena bisa ungkapin kekecewaan gue selama ini."

"Good job, Queen." Damian menepuk lengannya dan tersenyum. "Setelah ini jangan sedih lagi."

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang