Apa sulitnya mengucapkan kata maaf?
***Cewek itu datang tepat dua menit setelah bel berbunyi dan gerbang tertutup rapat. Ia sempat memohon-mohon minta dibukakan. Bukan salahnya, melainkan driver gojek yang bannya bocor pula supir angkot yang lupa belum mengisi bensin sehingga dirinya terpaksa berlari ke sekolah yang jaraknya tinggal dua ratus meter.
Pagi ini nasib Savara sangat sial. Tidak dibuat kesal empat sekawan, tapi oleh keadaan.
Akhirnya setelah menunggu bersama siswa lainnya yang datang terlambat, ia tidak diizinkan langsung ke kelas melainkan digiring ke lapangan untuk mendengarkan ceramahan guru piket.
Savara menggoyangkan kakinya yang terasa pegal. Saat mengarahkan tatapan, ia mendapati keberadaan Ardan yang berada di tempat sama dengannya. Sejak kapan cowok itu ada di sana?
Segera saja Savara membuang muka. Ia sangat ingin memperlihatkan betapa dirinya membenci Ardan.
"Kalian boleh kembali ke kelas setelah semuanya bersih!" titah sang guru yang diangguki para siswa dengan malas.
Mereka kemudian mengambil alat kebersihan yang tersedia dan segera menyebar untuk membersihkan lingkungan sekitar, termasuk Savara yang kini sudah memegangi sapu lidi. Dengan malas ia mengumpulkan sampah dan dedaunan kering. Namun dua orang berlarian membuatnya berdecak, hasil kerjanya kembali berantakan.
Savara menatap kesal pada Ardana dan Oji yang malah berkejaran, mengabaikan omelan teman-temannya. Please, Savara belum sempat sarapan karena baik sang mama maupun dirinya bangun kesiangan dan sekarang cowok itu membuat kadar lelahnya meningkat.
Tanpa berpikir panjang, Savara berjalan cepat dan memukul punggung Ardan yang terbalut seragam. Sontak cowok itu mengerang dan menoleh.
"Lo gila ya? Baju gue kotor nih!" Ardan menepuk seragam putihnya.
Savara tentu tidak mau kalah, ia malah bersedekap dada dan memamerkan raut menantangnya. "Gue gak salah denger?" tanyanya balik. Diam-diam Savara merasa bangga dengan keberaniannya sekarang. "Elo kalau ngomong suka gak nyadar diri ya? Liat tuh! Kita udah capek-capek nyapu dan lo malah berantakin lagi."
Ardan melirik ke arah yang ditunjuk cewek itu. Menyadari kesalahannya ia hanya ber'oh'ria. Hal tersebut membuat emosi Savara tersulut. "Lo tuh emang ya, gak pernah berubah dari dulu!"
Raut wajah Ardan berubah seketika mendengar ucapan Savara. Ia berjalan cepat menghampiri cewek itu dan berujar, "Lo bilang apa tadi?"
"Elo gak pernah berubah. Masih Ardana yang menyebalkan!" tekan Savara membuat Ardan mencengkram lengannya.
"Oh ya?"
Savara mengangguk dengan senyuman sinis di bibirnya. Hal tersebut membuat Ardan kesal. Ia hendak membalas, tapi kembali merapatkan bibir saat kilasan mimpi itu melintas di benaknya. Ardan tidak mengerti dengan refleksnya tersebut.
"Kalian sedang apa? Bukannya bersih-bersih malah pacaran!" suara Pak Bram membuat keduanya menoleh dan membeliakkan mata tak terima.
"Kita gak pacaran!" elak Ardan cepat.
"Dan saya tidak sudi pacaran sama dia, Pak!" Savara tak mau kalah, tentu saja.
Mendengarnya, Ardan mendelik. Ucapan Savara benar-benar melukai harga dirinya. Memang seburuk itu menjadi pacar Ardan? Padahal dulu cewek itu yang diam-diam pernah mengharapkannya.
"Sudah-sudah! Saya tidak ingin mendengar pasangan yang sedang bertengkar. Kalian berdua silahkan bersihkan taman depan lab. Jangan ke kelas kalau belum bersih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Fiksi Remaja(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...