Ada yang seharusnya kamu lupakan agar tak terus didera sakit.
***Keempat cowok itu duduk di depan kelas sembari menunggu bel masuk berbunyi. Mereka sempat menggoda beberapa cewek yang lewat, apa lagi kalau mereka memiliki penampilan menarik, koridor akan terdengar riuh.
Dari kejauhan, sosok Savara mulai terlihat. Cewek itu hampir menghentikan langkah mendapati keberadaan mereka yang tak pernah absen menjahilinya. Setelah terdiam cukup lama, Savara melanjutkan lajunya dengan memasang raut jutek.
Tepat beberapa meter lagi melintas, Danish sudah bersiaga menahan para sahabatnya jikalau berbuat sesuatu. Namun, pagi ini sebuah keajaiban terjadi. Entah mimpi buruk apa yang menimpa mereka hingga Savara dibiarkan lewat begitu saja, bahkan suasana mendadak sepi.
Danish menaikkan alis, melirik ketiganya yang bungkam masih dengan pandangan tak lepas dari punggung Savara yang semakin menjauh. Tak bisa menahan rasa penasaran, Danish menyenggol bahu Damian yang duduk di sebelahnya hingga terlonjak kaget.
"Lo gak kesambet hantu gudang, kan? Udah lewat dua hari lo ini," ujar Danish khawatir.
Damian menatap sahabatanya lalu mengedikkan bahu. Tumben sekali ia tidak bertingkah. "Lo takut sama dia sekarang?"
Dugaan cowok itu membuat Damian mendelik. Tidak ada dalam kamusnya seorang Damian takut perempuan. Baginya kegelapan lebih menakutkan. "Terus kenapa lo diem terus? Udah tobat?"
Damian menggeleng lagi. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menatap Danish. Ada keraguan di matanya sebelum memutuskan berbicara. "Gue malu anjir!" teriaknya membuat kedua sahabatnya yang lain hanya menatap malas dengan tingkah dramatisnya. Damian kemudian berbisik pada Danish. "Waktu di gudang gue meluk dia sambil nangis."
Danish seketika tertawa puas. Mungkin setelah ini Damian akan benar-benar berhenti mengerjai Savara. Ia kemudian beralih pada Ardan yang menyandarkan punggung ke tembok, tatapannya tampak kosong. Di sebelahnya Adrian tengah menunduk, memandangi sepatunya yang dihentakkan berulang.
"Kalian pada kenapa sih? Jadi takut gue," keluh Danish. Mungkin pagi ini merupakan suatu kegembiraan bagi Savara, tapi bagi Danish, pagi ini terasa menakutkan. Mungkin ketiga sahabatnya kerasukan berjamaah. Hanya dirinya yang normal karena Danish adalah manusia paling baik di antara mereka karena ia tidak suka menjahili Savara.
"Dam, hari ini lo gak ke koperasi beli permen?" tanya Danish yang belum melihat sahabatnya mengemut makanan manis tersebut.
"Kagak. Masih ada satu di tas."
Danish mengangguk lalu beralih pada Ardan yang kini mengernyitkan dahi dalam. Entah sedang memikirkan apa cowok itu. "Ar, tumben lo belum minta anter ke toilet."
Ardan hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap ke arah lapangan, tak merespon ucapannya sama sekali. Sisa satu orang yang belum ia tanyai. "Dri, lo tumben belum pergi ke ruang OSIS?"
Adrian menggeleng kemudian berdiri dari duduknya memasuki kelas. Ia membuka buku tugasnya, tapi gerakannya terhenti saat bayangan seseorang melintas di benaknya begitu saja. Ada yang aneh dengan perasaannya. Beberapa kali tak sengaja bertemu pandang dengan cewek itu, Adrian merasakan sesuatu, semacam kesedihan di balik tatapan dinginnya.
Sedangkan Ardan yang masih berada di luar kelas memilih pergi entah ke mana. Pikiran cowok itu beberapa hari terakhir terasa kacau. Setelah tahun-tahun berganti, untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu menghantam dadanya mendengar ucapan Savara tentang betapa brengsek dirinya.
***Savara sebenarnya tidak mengerti kenapa Ardan dan teman-temannya membiarkannya lolos begitu saja, padahal posisinya tadi sangat menguntungkan bagi mereka. Seharusnya ia bersukur bukan malah merasa heran. Savara khawatir mereka sengaja dan tengah menyusun strategi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...