Bagian 8, Sakit Berkepanjangan

1.1K 230 43
                                    

Mungkin kata maaf dapat terucap dengan mudah. Namun, rasa sakit yang tercipta bisa selamanya menyiksa.
***

Cewek itu memperhatikan bangunan di seberangnya lewat jendela mobil. Sehabis dari rumah Alicia, ia tidak segera pulang melainkan memesan taksi untuk mengunjungi suatu tempat. Tidak mungkin dirinya meminta Laras mengantarnya.

Sepuluh menit sudah berlalu. Sopir yang mengantarkannya sempat bertanya, apakah dirinya akan turun. Namun, Savara hanya menjawab dengan gelengan. Hingga ketika memutuskan untuk menyerah, yang dinantikan akhirnya tiba di kediamannya. Ia dapat melihat bagaimana lelaki paruh baya itu turun dari mobilnya dan disambut oleh dua orang perempuan dan satu anak laki-laki. Mereka tampak bahagia seolah tak pernah melakukan dosa di masa lalu dan itu membuat Savara mengepalkan tangannya.

Rasanya ia ingin meledak. Seharusnya orang-orang itu mendapatkan karma seperti di sinetron yang pernah ia tonton. Sungguh tak adil dunia karena yang menderita malah mereka yang dulu teraniaya.

Oke, mungkin mamanya terlalu baik sehingga menyerah pada takdir. Namun, Savara tidak bisa diam saja dan merasakan sakit sendirian. Mereka harus membalas luka yang dirinya dan sang mama rasakan.

"Jalan, Pak!" ujar Savara tanpa menutup kaca jendela. Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan sampai emosinya yang menggembu tadi hilang.

Saat taksi yang ia tumpangi hendak keluar dari area kompleks, Savara mengarahkan tatapan ke jalanan di sekitarnya. Ia dibuat membeku mendapati sosok Adrian sedang berbicara dengan seorang satpam. Cowok itu memicingkan mata, memastikan tidak salah melihat.

Segera saja Savara membuang pandangan dan menaikkan jendela mobil. Tidak peduli sedang apa Adrian di sana, ia hanya berharap tak akan bertemu lagi dengannya di tempat ini lain waktu.

Savara membuka ponsel, menatap sebuah kontak yang baru ia dapatkan hasil mencuri dari bu Nur, wali kelas XI IPS 1. Kebetulan siang tadi ia diam-diam mengambil biodata siswa untuk mendapatkan nomor orang tua Nagita.

Cewek itu mengetikkan sesuatu di ponselnya lalu mengirimkannya. Savara tersenyum sinis. Ia hanya perlu mengingatkan mereka akan dosa yang pernah dibuatnya.
***

Suasana kelas cukup ramai karena Bu Rosa akan terlambat datang. Beberapa siswa duduk di kursinya untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Ada juga yang memilih bergerombol untuk berbicara ngaler ngidul bahkan bermain bola di dalam kelas. Sedangkan di ruangan paling belakang, empat cowok tampak menikmati kebebasannya.

Ardan duduk menyandar ke tembok, tatapannya fokus pada games yang sedang dimainkannya, sesekali mengangguk atau membalas singkat pertanyaan yang diajukan para sahabatnya. Di sebelahnya ada Damian serta Danis yang duduk bersila dan saling berhadapan, mereka sedang bermain catur. Terakhir ada Adrian yang sedang tengkurap, beralaskan sajadah. Cowok itu tengah mengerjakan tugas meski bukan hanya otaknya saja yang bekerja, tapi mulutnya juga.

"Eh, Dam!" panggil Adrian setelah menyelesaikan setengah halaman tulisannya.

"Hm."

"Dami!"

Damian yang sedang fokus mengatur strategi berdecak. Dengan raut sebal menoleh pada sahabatnya. "Apaan sih lo? Ganggu aja."

Mengabaikan kekesalan cowok itu, Adrian bertanya, "Si Ratu emang satu kompleks sama lo?"

Damian sempat mengernyit meski akhirnya paham. "Si Queen maksudnya."

"Heem, kalian satu kompleks?" tanyanya membuat para sahabatnya saling melemparkan tatapan bingung. Aneh saja Adrian tiba-tiba menanyakan rumah cewek itu.

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang