Bagian 24, Rumah Sakit

1K 209 80
                                    

Apakah berbuat baik butuh alasan?
***

Cowok itu memasukkan diary milik Savara ke dalam tas. Selesai menarik resletingnya, ia mengambil kunci motor dari saku beriringan dengan langkahnya memasuki area parkir.

Tadinya, ia akan memberikan benda tersebut pada pemiliknya, tapi melihat perdebatan kedua orang terdekatnya, dirinya memilih diam, membiarkan Savara meluapkan amarahnya. Sudah sepantasnya Ardan tahu akibat dari ulahnya di masa lalu.

Dering telepon membuatnya yang hendak melajukan kendaraan berdecak. Ia sempat mengernyitkan dahi sebelum kemudian mengangkat panggilan tersebut.

"Ya?"

"Lo di mana?"

Cowok itu terdiam beberapa saat sebelum balik bertanya, "Ada apa?"

"Enggak. Gue kira lo masih di sekolah. Temen lo- Savara nangis," ucapnya memberitahu, "Danish gak bisa dihubungi."

"Oh," Cowok itu berusaha tak kembali ke tempat Savara berada. "Em ... kalau gitu anterin dia pulang, Dri. Gue ... gue baru nyampe rumah soalnya."

Terdengar tarikan nafas cowok itu. "Dia gak berhenti nangis. Gue bingung."

Damian juga pasti merasakan hal sama jika berada di posisi Adrian. Namun, ia yakin kalau sahabatnya dapat mengatasi itu semua dengan baik. "Dri, anterin dia pulang, jangan ngebut. Gue percayain dia sama lo."

Setelah itu, Damian menutup telepon. Salah jika ada yang menganggap kalau dirinya tak peduli. Ia hanya terlalu percaya pada Adrian, melihat kesigapan cowok itu dan segala bentuk perhatiannya membuat ia merasa lega. Setidaknya masih banyak yang peduli pada Savara.

Seperti yang selalu ia harapkan, Savara harus bahagia. Dan sebagai sahabat yang baik, dengan siapa pun cewek itu, Damian akan mendukungnya.
***

Adrian menatap layar ponselnya. Damian mematikan sambungan telepon begitu saja. Menghela nafas dalam, ia memperhatikan cewek di depannya yang masih sesegukan.

Dua puluh menit. Adrian sudah melewatkan rapat OSIS nya dan malah menunggui Savara yang tak berhenti menangis. Beruntung tak ada yang melewati koridor ini, jangan sampai dirinya dituduh macam-macam.

"Udah, jangan nangis terus. Gak capek apa? Gue aja capek liatinnya," ucap Adrian, tubuhnya sudah pegal karena sejak tadi berjongkok.

Savara mendongkak. Matanya terlihat bengkak karena menangis lama, hidungnya merah serta air mata yang membasahi wajah. Sungguh berantakan. Ia kira cewek itu akan mengusirnya, ternyata dugaannya salah. Savara menghapus cairan bening di pipinya lalu bangkit. Adrian dengan sigap ikut berdiri dan memegangi lengannya.

"Mau ke mana?" tanyanya melihat Savara melangkah.

Melepaskan tangan Adrian, cewek itu bergumam dengan suara seraknya. "Pulang."

Bisa saja Adrian membiarkannya lalu pergi ke ruang OSIS untuk mengikuti rapat. Namun, sisi lain hatinya merasa tak tega. Ia beralih meraih jemari Savara yang terasa dingin lalu menariknya pelan menuju parkiran. Cewek itu tak menolak, malah tampak pasrah.

Savara duduk di boncengan hanya dalam satu kali perintah. Tidak seperti satu pekan terakhir yang harus dipaksa terlebih dahulu.

Selama perjalanan, keduanya tak ada yang membuka percakapan. Sesekali Adrian melirik lewat kaca spion, memastikan keadaan cewek itu.

Sampai depan rumah, Savara turun dari motor. Ia menatap sekilas dan menggumamkan terima kasih sebelum kemudian berbalik memasuki rumah. Adrian tak berniat menahan, membiarkan Savara untuk saat ini adalah solusi terbaik.
***

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang