Kedamaian yang sebenaranya adalah saat kamu mampu memaafkan kesalahan seseorang
***Savara sedang mendengarkan lagu sembari menidurkan kepala di atas meja, menghadap jendela. Hari ini guru-guru sedang mengadakan rapat, makanya kelas begitu berisik.
Ia masih enggan berbicara dengan Laras. Beberapa teman sekelasnya tentu menyadari keretakan hubungan pertemanan mereka. Namun, Savara tidak mau peduli, apalagi desas desus tak benar mulai menyebar.
"Ra!"
Guncangan di bahu membuatnya dengan malas menegakkan badan. Ia hampir kembali ke posisinya kalau saja Alicia tidak mengatakan hal yang membuatnya terpaku.
"Ardan katanya mau ngomong."
Kedua tangannya refleks terkepal, Savara menoleh pada Laras yang menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Berusaha mengabaikan perasaan bersalahnya, ia segera berdiri dan menghampiri Ardan.
"Ada apa?"
"Bisa bicara berdua?" tanya cowok itu hati-hati. Savara jadi merasa aneh sendiri. Ardan yang ia kenal tidak seperti ini.
Savara teridam sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Di mana?"
Senyum penuh harapan cowok itu muncul. "Ikut gue."
Ragu, Savara mengikuti langkah Ardan. Bukannya ia tak menyadari tatapan sekitar. Mungkin mereka semakin membenarkan gosip tentang dirinya yang mencoba merebut gebetan teman sendiri. Ah, lagi-lagi Savara tertuduh sebagai cewek perebut pacar orang alias PHO.
Sampai di atap sekolah, Savara menumpukan kedua tangannya ke pagar pembatas. Memperhatikan lalu lalang di bawah sana.
"Savara," gumamnya pada cewek itu yang dengan enggan membalas tatapannya.
"Gue ... gue bersalah." Ardan beralih menundukan wajah.
Baru awal, tapi perasaan sesak sudah menyerangnya. Ia jadi ingat kenangan dulu saat dirinya selalu diam-diam memperhatikan cowok itu. Bagaimana Savara merasa begitu tergila-gila hanya karena melihat senyuman Ardan lalu tiba-tiba ia dijatuhkan tanpa diduga. Savara hancur dalam sekejap.
"Lo bener gue brengsek. Gak seharusnya gue membela diri, gue ... cuma mau membuat pengakuan." Ardan terdiam sejenak, memikirkan kalimat yang tepat sehingga keadaan tidak semakin memburuk. Ia sadar setelah mengetahui semuanya, Ardan merasa tak memiliki ketenangan dalam hidupnya. Savara benar-benar berhasil membalaskan rasa sakitnya.
"Katakan, gue pingin tau apa yang selama ini ada dipikiran lo," sarkas Savara yang kini memilih memandangi langit biru di atas sana.
"Saat itu, ketika gue tau isi diary lo, jujur aja gue kaget. Awalnya cuma itu, tapi olokan temen-temen gue lama-lama bikin kesel, kenapa lo harus seceroboh itu sampai biarin barang pribadi lo jatuh ke tangan orang lain." Ardan menatap Savara yang berusaha tetap tenang pada posisinya. "Lalu saat mereka seret gue dan lo ke lapangan, sorakin kita seolah itu hal menyenangkan, gue bener-bener ngerasa muak banget. Gue butuh sesuatu buat pertahanin harga diri gue biar gak diinjak-injak. Gue gak mau terus-terusan jadi bulan-bulanan mereka."
"Dengan limpahin semua ke gue? Seolah jatuh cinta sama lo adalah kesalahan terbesar yang gue lakuin?" Savara tertawa sumbang.
Dengan berat hati Ardan mengangguk. "Maaf. Gue tau mungkin saat itu gue masih labil, gue egois, memilih nyelamatin diri gue dan jatuhin lo."
"Hebat! Lo berusaha ngalihin olokan mereka dengan cara menghina gue. Lo buat mereka beralih menyalahkan gue karena suka sama cowok se-perfect lo," ucap Savara dengah nada bergetar. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Setiap mengingat peristiwa menyakitkan itu, ia tidak bisa untuk tak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) THE QUEEN ✔️
Teen Fiction(Pemenang dalam event #WWC2020) Aqueena Savara bukanlah seorang ratu selayaknya nama yang ia miliki. Kata sempurna begitu jauh dari jangkauannya. Baik di sekolah, maupun di rumah, ia tak pernah mampu menjadi yang nomor satu. Savara tidak pernah men...