Bagian 18, Permintaan Maaf

1K 216 84
                                    

Banyak hal tak terduga di dunia ini.
***

Savara membuka buku paketnya dengan malas. Jam sekolah sudah berakhir sejak lima belas menit lalu. Cewek itu tak langsung pulang, memilih mengerjakan tugas Geografinya di perpustakaan. Keadaan rumah yang sunyi selalu membuatnya merasa tercekik. Savara lelah menyangkal bahwa dirinya memang benar-benar sendirian.

Sebenarnya Sonya sering memintanya untuk menginap, tapi Savara malas harus berangkat sekolah pagi-pagi karena jarak rumah tantenya dengan sekolah cukup jauh. Mungkin ia akan meluangkan waktu jika weekend tiba.

Mendengar derit kursi, Savara menoleh. Didapatinya Adrian mengambil tempat duduk di sebelahnya. Cowok itu melirik sekilas lalu mengeluarkan laptop dan menyalakannya.

"Kenapa duduk di sini?" tanya Savara dengan nada sinis. Jujur saja ia merasa kurang nyaman mengingat tingkah Adrian akhir-akhir ini. Anehnya berbeda saat dirinya terus diteror oleh kehadiran sahabat cowok itu. Damian yang menyebalkan, tapi ia dengan mudah mengeluarkan bentuk kekesalannya, termasuk melemparkan kalimat-kalimat umpatan.

Adrian yang sedang mencari data di laptopnya menoleh. "Ini tempat umum."

Mendengkus, Savara hendak bangkit. Namun Adrian segera menahan lengannya dan berkata, "Gue gak bakal ganggu. Lagipula ... kita bukan musuh."

Savara hampir saja tergelak. Mereka memang bukan musuh, tapi untuk beramah tamah dengan cowok itu bukanlah suatu keharusan.

"Kita perlu bicara," ucap Adrian membuatnya menoleh seketika. Ia hendak menolak karena tak perlu ada yang dibicarakan untuk ukuran hubungan mereka yang buruk. "Mungkin lo nganggap gak ada yang perlu dibahas, tapi menurut gue ada yang harus diluruskan."

Melihat tatapan serius cowok itu, Savara kembali duduk. Ia tidak mengerti atas sikapnya yang dengan mudah mengabulkan perkataan Adrian. Mungkin karena dirinya penasaran. Selama ini mereka tak pernah berbicara layaknya teman.

"Gue sebenernya gak paham. Kita gak pernah ada masalah, tapi selalu bersikap kayak orang yang saling membenci." Adrian menyampingkan badan, fokus menatapnya. "Mungkin awalnya gue ikut-ikutan Ardan yang sering bikin lo marah padahal gue gak tau penyebabnya apa. Bahkan gue gak tau alasan kenapa dia selalu kesel tiap liat lo."

Cowok itu menghentikan ucapannya sejenak, memperhatikan wajah Savara yang berubah. Ada kesedihan di sana meski cewek di depannya berusaha menampakkan raut datar. "Dari sana pasti lo jadi benci sama gue dan bales kayak yang udah-udah. Bodohnya gue juga gak mau kalah malah jadi sering ketusin elo dan mengatakan hal-hal yang mungkin bikin lo sakit hati."

"Maksud lo ngomong kayak gini apa?" tanya Savara. Siapa yang tidak merasa aneh saat orang yang sering membuatnya kesal tiba-tiba bersikap baik. "Apa karena ini?" Savara mengangkat tangannya yang tertutupi handband.

Adrian terdiam beberapa saat sebelum mengangguk. "Mungkin?"

"Gue gak butuh dikasihani!" ketusnya dengan rahang mengeras. "Gue begini bukan cuma karena kalian, lo ataupun temen-temen lo gak sepenting itu sampai buat gue- hh." Savara tak mampu melanjutkan perkataannya. "Tetep jadi lo yang kayak biasa. Gue gak suka dikasi-"

"Maaf."

Savara melebarkan matanya. Ia pasti salah dengar.

"Maaf buat perkataan gue selama ini yang bikin lo terluka. Mungkin lo nyakitin diri bukan karena gue, tapi gak tau kenapa gue merasa harus minta maaf." Adrian menatapnya serius. "Mama gue seorang psikolog dan gue sering denger cerita tentang ... seseorang yang hm kayak lo."

Hening. Savara memilih diam meski perasaannya sudah tak menentu. Antara marah, kesal, malu dan ... sesak.

"Tentang hal berat yang lo alamin selama ini, juga atas perbuatan gue yang mungkin udah ikut andil buat lo tertekan, sorry."

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang