Bagian 22, Lembar Terakhir

938 204 46
                                    

Jangan pernah menunggu orang lain untuk memberikanmu kebahagiaan
***

Savara melangkah melewati koridor. Ia hendak akan menyusul Laras dan Alicia yang sejak tadi belum kembali dari toilet. Gerakan tangannya yang akan mendorong pintu terhenti mendengar percakapan serius keduanya.

"Gue gak tau harus gimana, Ci. Gue tau ini salah gue karena ngajuin diri buat bantu Savara, tapi ... gue juga gak tau bakal kayak gini jadinya."

Suara Laras terdengar frustasi. Savara mengernyit bingung, tak mengerti isi pembicaraan mereka. Dirinya tak jadi masuk, memilih berdiri di dekat pintu untuk menguping.

"Sejak awal gue udah bilang, jangan main-main sama perasaan orang, tapi kalian gak mau dengerin gue," ucap Alicia tampak kesal. Savara sepertinya mulai paham apa yang sedang mereka bahas, rencana pembalasannya terhadap Ardan.

"Makin hari, Ardan sering- kayak ngasih kode dan gue selalu berusaha ngalihin topik." Laras belum menceritakan hal itu padanya dan ia merasa kecewa.

Hening untuk sesaat. Pun tak terdengar langkah yang mendekat ke arah pintu sehingga Savara tetap merasa aman dengan posisinya saat ini.

"Terus ... lo maunya gimana?" tanya Alicia. Cewek itu memang yang paling bisa berpikir dewasa dan selalu mampu memberikan solusi terbaik.

"Gue ... gue gak tau," lirih Laras.

"Lo beneran suka sama Ardana?"

Pertanyaan Alicia membuatnya semakin merapatkan telinga ke pintu. Mana mungkin dalam waktu pendekatan beberapa pekan Laras langsung jatuh ha-

"Gue pingin bilang enggak, tapi ... gue gak bisa nyangkal lagi, Ci."

Mata Savara membeliak. Ia menutup mulutnya yang terbuka lebar. Perkataan Laras seperti sebuah lelucon. Bagaimana bisa cewek yang menawarkan dirinya untuk membalas Ardana malah berakhir seperti ini?

"Terus gimana sama Savara? Dia tau?" tanya Alicia terdengar khawatir.

"Enggak, jangan sampai dia tau Ci!" larang Laras gusar.

Sayangnya Savara sudah tahu sekarang. Ternyata perasaan tak enaknya setiap melihat Laras dan Ardan adalah karena sebuah firasat. Dulu, cewek itu dengan percaya dirinya mengatakan tidak akan terbawa perasaan. Ternyata apa yang keluar dari mulut seseorang memang tak bisa dipercaya.

"Dia harus tau! Gue gak mau ya pertemanan kita hancur cuma karena masalah cowok." Alicia menegaskan pada cewek itu. "Lagian lo juga, kenapa mudah banget baper?"

"Lo kira perasaan seseorang bisa dikendaliin?" tanya Laras menggebu, "kalau tau bakal gini, gue juga gak akan deketin Ardan."

Oke mereka akhirnya berdebat. Niat Savara untuk menemui keduanya lenyap. Ia memundurkan langkah dan berbalik untuk kembali ke kelas. Karena terlalu terhanyut dengan pikirannya, Savara sampai tak sadar dengan keadaan sekitar dan hampir menabrak seseorang.

"Sorry," ucap Savara tanpa bersusah payah untuk melihat siapa sosok tersebut. Savara menggeser badannya, tapi cowok di depannya enggan memberikan jalan, malah ikut bergeser.

Berdecak, Savara bersiap menyemburkan amarahnya ketika cowok itu sudah terlebih dahulu memberikan usapan lembut pada wajahnya.

"Tenang! Gak capek apa marah mulu?" Damian menatapnya serius. Tumben sekali tidak cengengesan seperti biasa.

Savara memutar bola mata, malas meladeni. Ia kemudian mendorong paksa tubuh Damian dan berjalan meninggalkan cowok itu yang malah mengejarnya, berakhir dengan menyimpan tangan di pundak Savara.

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang